Berikut ini adalah posting tentang Contoh Makalah Bahasa Arab yang membahas tentang "Bahasa Arab Sebagai Akar Bias Gender Dalam Wacana Islam" disusun oleh sobat Nur Rofiah (Dosen Bidang Tafsir Institut PTIQ Jakarta). sebelumnya "Contoh Makalah Bahasa Jepang"
Mewaspadai Bias Gender dalam Wacana Agama
Itulah tadi artikel tentang Contoh Makalah Bahasa Arab. semoga bermanfaat
BAHASA ARAB SEBAGAI AKAR BIAS GENDER
DALAM WACANA ISLAM
Nur Rofiah*)
Bahasa Arab
mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan Muslim di berbagai belahan
dunia. Isma’il dan Lois Lamya al-Faruqi secara tepat menggambarkan fenomena ini
sebagai berikut:
Dewasa ini bahasa Arab merupakan
bahasa daerah sekitar 150 juta orang di Asia Barat dan Afrika Utara yang
merupakan dua puluh dua negara yang menjadi anggota Liga Negara-Negara Arab. Di
bawah pengaruh Islam, bahasa ini menentukan bahasa Persia, Turki, Urdu, Melayu, Hausa
dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang 40-60 persen kosakata untuk bahasa-bahasa
ini, dan kuat pengaruhnya pada tata bahasa, ilmu nahwu, dan kesustraannya.
Bahasa Arab merupakan bahasa religius satu milyar Muslim di seluruh dunia, yang
diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini juga merupakan bahasa hukum
Islam, yang setidaknya dalam bidang status pribadi, mendominasi kehidupan semua
Muslim. Akhirnya inilah bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan di beribu-ribu
sekolah di luar dunia Arab. Dari Sinegal sampai Filipina, bahasa Arab dipakai
sebagai bahasa pengajaran dan kesusastraan dan pemikiran di bidang sejarah,
etika, hukum dan fiqh, teologi, dan kajian kitab.[1]
Didukung dengan
beberapa doktrin ajaran Islam, bahasa Arab terus mempengaruhi masyarakat Muslim
di berbagai tempat. Misalnya doktrin bahwa al-Qur’an harus ditulis dan dibaca
dalam bahasa aslinya (bahasa Arab). Terjemahan al-Qur’an dipandang sebagai
sesuatu di luar al-Qur’an itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Injil di mana ia
justru harus diterjemahkan ke berbagai bahasa tanpa menyertakan teks aslinya.
Doktrin pendukung lainnya adalah berbagai ucapan ritual ibadah hanya dianggap
sah jika dilakukan dalam bahasa Arab. Tak pelak doktrin-doktrin seperti ini
telah memacu motivasi masyarakat Muslim untuk mempelajari dan menguasai bahasa
Arab sejak dini agar kelak menjadi Muslim yang baik. Al-Qur’an bahkan tidak
hanya dipelajari cara membacanya, tetapi juga dihafalkan kata perkata secara
utuh.
Bahasa sangat
erat kaitannya dengan kegiatan berpikir sehingga sistem bahasa yang berbeda
akan melahirkan pola pikir yang berbeda pula.[2] Oleh karena itu pengaruh bahasa Arab pada
berbagai bahasa masyarakat non Arab berarti pula pengaruh dalam cara berpikir
dan cara bersikap masyarakat Muslim di seluruh dunia. Hal ini terlihat dari
kecenderungan masyarakat Muslim untuk memahami segala sesuatu yang Islami
(sesuai dengan Islam) dengan Arabi (sesuai dengan Arab). Menjadi Muslim yang
menyeluruh (kaffah) seringkali diekspresikan dengan menjadi orang Arab dengan
berbagai artibutnya seperti bergamis, bersorba, berjenggot, berjubah,
berjilbab, bernama Arab, bermusik padang pasir, dsb.
Sebagai konvensi, bahasa merupakan
kesepakatan sebuah masyarakat. Ia diwariskan secara turun-menurun oleh generasi
pemakainya. Demikian juga tradisi, pemikiran, keyakinan maupun ajaran agama
yang disimbolkannya. Melalui ajaran Islam, bahasa Arab secara tidak langsung
terus mempengaruhi masyarakat muslim dalam cara pandang, berpikir dan bersikap
secara turun temurun. Transformasi ini dilakukan secara sistematis di madrasah,
pesantren dan perguruan tinggi Islam melalui buku-buku berbahasa Arab yang
menjadi literatur utama.
Bahasa sebagai Simbol
Sebagaimana
hakekat manusia yang terdiri dari dimensi lahir dan batin, bahasa pun demikian
halnya. Manusia disebut mahluk lahir karena ia memang tampak, dapat dikenali
dan diidentifikasi. Sebaliknya disebut makhluk batin, karena apa yang tampak
dari manusia hanyalah pencerminan belaka dari hakekat dirinya yang tersembunyi
(batin atau metafisik).[3] Seperti juga hakekat kedirian manusia ini,
bahasa manusia pun pada dasarnya adalah simbol bagi dunia makna. Aliran
mentalis mengatakan bahwa bahasa merupakan ekspresi dari ide, perasaan dan
keinginan [4]
Ferdinand De
Saussure lebih jauh mengembangkan unsur makna dan kata dalam bahasa melalui
teori tentang konsep dan imajinasi suara (the
concept and the sound image).[5] Kata pohon misalnya, terdiri dari
imajinasi suara kata "pohon" (signifier)
dan konsep tentang pohon (signified).
Sistem simbolik bahasa disandarkan pada sistem kehidupan manusia. Karena itu
kosa-kata sebuah bahasa di samping mencerminkan kemampuan sebuah masyarakat
dalam mengekspresikan pengalaman hidupnya, juga secara umum mencerminkan
pengetahuan, pandangan hidup, keyakinan maupun pemikiran mereka. Bahasa Inggris
mencerminkan keseluruhan perkembangan politik, sosial dan sejarah budaya bangsa
Inggris.[6] Demikian pula dengan bahasa Jawa.
Pembagian kata menjadi tiga tingkatan menunjukkan adanya budaya patriakal yang
sangat kental pada masyarakat penuturnya. Pembagian jenis kata pada rendah
(ngoko), menengah (madyo) dan atas (inggil) mengacu pada adanya strata sosial
masyarakat dalam budaya Jawa.
Sebagaimana
bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem simbolik. Kosa kata yang
dipakai dalam bahasa adalah simbol bagi makna yang berada di baliknya.[7] Ibarat kata adalah sebuah badan, maka
makna adalah ruhnya.[8] Karena itu sebuah kata hanya akan
berfungsi sebagai simbol jika tidak dipisahkan dari konsep maknanya. Kosa kata
apapun tidak akan berfungsi sebagai sebuah simbol bagi seseorang yang tidak
mengetahui maknanya. Bahasa Arab yang dipakai al-Qur'an misalnya, tidak akan
berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan ilahi bagi siapa pun yang tidak
mengerti bahasa Arab. Karena itu betapapun tingginya nilai sastra al-Qur'an,
berhadapan dengan mereka, al-Qur'an tidak dapat menyampaikan satu pesan pun.
Sistem simbolik
bahasa Arab yang disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab berarti pula bahwa
bahasa Arab sangat berkaitan dengan pola kehidupan masyarakat Arab. Pamakaian
bahasa Arab oleh al-Qur'an menunjukkan bahwa simbol bahasa al-Qur'an sangat
terkait pada budaya bahasa Arab. Keterkaitan ini terlihat jelas pada pemakaian
kosa-kata bahasa Arab yang hanya dapat dipahami dengan baik oleh masyarakat
Arab. Lebih jauh lagi, keterkaitan bahasa al-Qur'an dengan budaya Arab
ditunjukkan dalam transformasi pesan-pesan ilahi melalui budaya masyarakat
Arab.
Bias Gender dalam Bahasa Arab
Bahasa Arab yang
telah menjadi bahasa umat Islam ini mengandung bias gender yang berpengaruh
pada proses tekstualisasi firman Allah dalam bentuk al-Qur’an. Bias tersebut
tercermin dalam tata bahasa Arab seperti setiap nama (isim) dalam bahasa Arab
selalu berjenis kelamin (mudzakkar atau mu’annats), bisa secara hakiki maupun
majazi. Sebagaimana seseorang tidak bisa mengabaikan kelas sosial ketika
berbicara bahasa jawa, aturan di atas menyebabkan seseorang tidak bisa
menghindari klasifikasi laki-laki dan perempuan dalam berbahasa Arab karena
dalam bahasa ini tidak ada nama yang netral.
Sebagai
pemakai bahasa Arab, teks al-Qur’an juga mengikuti ketentuan ini sehingga Allah
sebagai Dzat yang tidak berjenis kelamin pun mempunyai nama yang berjenis
kelamin, yaitu mudzakkar (laki-laki) sehingga memakai kata kerja laki-laki (fiil
mudzakkar), sebagaimana ditunjukkan oleh ayat berikut ini:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنْ بَعْدِ إِذْنِهِ ذَلِكُمُ
اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ(3)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang
menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas
`Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa`at
kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu,
maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
Ketentuan lain
dalam tata bahasa Arab yang mengandung bias gender adalah isim muannats
(nama untuk perempuan) cukup dibentuk hanya dengan cara menambahkan satu huruf (ta’ marbuthoh)
pada nama atau isim yang telah ada bagi laki-laki, seperti kata ustadzah
(guru perempuan) yang dibentuk dari kata ustadz (guru laki-laki), muslimah dari
muslim dll.. Tata bahasa ini mencerminkan cara pandang masyarakat Arab terhadap
eksistensi perempuan sebagai bagian (sangat kecil?) dari eksistensi laki-laki.
Pengaruh cara
pandang yang mengabaikan eksistensi perempuan ini dalam al-Qur’an dapat dilihat
pada ayat tentang wudlu sebagai berikut:
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan
tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (al-Maidah/5:6)
Ayat tersebut
sangat jelas sedang berbicara hanya pada laki-laki karena ayat tersebut secara
jelas pula menyebutkan menyentuh perempuan (dengan segala konotasinya) sebagai
hal yang menyebabkan batalnya “kesucian” laki-laki. Tidak ada satu ulama fiqh
pun yang mengambil kesimpulan dari ayat di atas bahwasanya perempuan menyentuh
perempuan dapat membatalkan wudlu. Jadi, eksistensi perempuan pada ayat di atas
tidak ada dan ketentuan untuk perempuan pun cukup diturunkan dari ketentuan
laki-laki.
Tata bahasa Arab
lainnya yang mengandung bias gender adalah kata benda plural (jama’) untuk
sekelompok perempuan adalah kata plural laki-laki (jama mudazkkar)
meskipun di dalamnya hanya ditemukan satu orang laki-laki. Satu grup perempuan,
baik berjumlah seribu, sejuta, semilyar, bahkan lebih, akan menggunakan kata
ganti jama mudzakkar (laki-laki) hanya karena adanya satu orang
laki-laki di antara lautan perempuan tersebut. Hal ini mencerminkan cara
pandang masyarakat Arab bahwa satu kehadiran laki-laki lebih penting daripada
keberadaan banyak perempuan, berarapa pun jumlahnya.[9]
Sebagai pemakai
bahasa Arab, al-Qur'an juga mengikuti ketentuan ini sehingga dalam menyampaikan
sebuah pesan yang ditujukan kepada umat secara umum, baik laki-laki atau
perempuan, al-Qur'an menggunakan jenis kata laki-laki. Beberapa contoh ayat
dapat disebutkan di sini:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS. 2:183).
Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. 2:110)
Makulinitas ayat-ayat
di atas terletak pada penggunaan kata-kata yang dicetak miring. Kata ganti
orang kum (kalian), kata sambung alladhina (orang-orang yang), kata kerja
aamanuu, tattaquun, aqiimuu, aatuu, tuqoddimuu, tajiduu (beriman, bertakwa,
dirikanlah, tunaikanlah, usahakan, kerjakan). Kata-kata ini dalam bentuk
perempuannya (muannatsnya) adalah kunna,
allaatii, aamanna, tattaqna, aqimna, aatina, tuqoddimna, tajidna. Sekalipun
menggunakan kata bentuk mudzakkar, ayat ini jelas ditujukan kepada
seluruh kaum muslim termasuk yang perempuan. Jika tidak, maka ayat-ayat di atas
tidak dapat dijadikan landasan bagi kewajiban shalat dan zakat bagi perempuan.
Meskipun
perempuan telah terwakili dengan penyebutan laki-laki, tetapi pada beberapa
kesempatan ayat al-Qur'an menggunakan gaya
bahasa di mana eksistensi perempuan tidak lebur oleh kehadiran laki-laki.
Misalnya ayat berikut ini:
Sesungguhnya
laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min,
laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan
yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang
khusyu, laki-laki dan perempuan yang sedekah, laki-laki dan perempuan yang
berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk
mereka ampunan dan pahala yang besar. (al-Ahzab, 33:35).
Bahasa Arab
sesungguhnya bukan satu-satunya bahasa yang mengenal perbedaan gender. Bahasa
Inggris mempunyai kata ganti she
untuk perempuan dan he untuk
laki-laki. Seperti juga dalam
bahasa Arab, dominasi pria atas perempuan dalam masyarakat Inggris tercermin
dalam istilah-istilah umum yang menggunakan kata laki-laki, contoh chairman dan spokesman. Ketika kesadaran persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan muncul di kalangan masyarakat pengguna bahasa Inggris, maka muncul
pula kesadaran yang berbeda dalam berbahasa. Misalnya penggunaan kata he or she untuk menghindari penggunaan he secara berlebihan, dan perubahan
istilah-istilah maskulin semacam chairman
dan spokesman menjadi kata yang lebih
netral seperti chairperson dan spokesperson.
Kesadaran semacam ini tidak ditemukan dalam diskursus Arab.[10]
Tata-bahasa
Arab yang mengandung bias gender ini merefleksikan budaya dan sikap masyarakat
Arab terhadap perempuan. Pada masa turunnya al-Quir’an, kehadiran anak
perempuan dapat mengancam kehormatan sebuah keluarga Arab sehingga penguburan
bayi perempuan hidup-hidup juga ditempuh untuk menutupi malu.[11]
Penguburan ini ditempuh karena masyarakat belum mengenal aborsi. Nilai
perempuan tak lebih dari barang yang dapat dijual dan diwariskan.[12]
Di samping itu, laki-laki dapat mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas
pada saat yang sama, menceraikan mereka, merujuk lagi kapan saja dan berapa kalipun
laki-laki menghendaki.[13]
Tak jarang perempuan dipandang seperti syaitan yang harus dijauhi.[14]
Mewaspadai Bias Gender dalam Wacana Agama
Meskipun
kebenaran dan kebaikan yang disampaikan oleh al-Qur'an bersifat universal dan
abadi akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat dengan kondisi
masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang lebih berani Ibnu Khaldun
mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar
dapat dipahami.[15]
Rekaman dialog antara ayat-ayat al-Qur’an dengan masyarakat Arab terutama yang
berkaitan erat dengan persoalan personal mereka adalah indikasi kuat bagi
adanya relevansi proses pembahasaan kebenaran mutlak Al-Qur’an dengan kondisi
lokal bangsa Arab pada masa turunnya.
Namun demikian mayoritas Muslim
memiliki kesadaran bahwa al-Qur’an (teks al-Qur’an) sama azali dan abadinya
dengan Allah sehingga lahir kecenderungan untuk memahaminya secara tekstual.
Keyakinan ini memunculkan problem serius karena teks-teks al-Qur’an adalah
rekaman atas perubahan sosial yang berlangsung selama 23 tahun masa kerasulan
Muhammad Saw. Oleh karena itu pendekatan tekstual akan mengesankan adanya
ayat-ayat yng kontradiktif antara satu dengan lainnya. Problem ini oleh ulama
diatasi antara lain melalui konsep naskh, yaitu menghapus atau menunda
(hingga waktu tak tentu) beberapa ayat dengan memprioritaskan ayat lain untuk
diberlakukan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa teks al-Qur’an tidak bisa
diterapkan secara serentak dan menyeluruh: sesuatu yang bertentangan dengan
doktrin keabadian teks al-Qur’an.
Supremasi teks atas spirit atau
ruhnya ini mengandung potensi besar bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat
tentang waris misalnya, pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan
perempuan secara ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi
mampu mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula mewariskan atau
memberikan warisan. Dari transformasi ini dapat ditangkap bahwa bagian anak
perempuan separo dari laki-laki mengandung tekanan pesan bahwa separo adalah
jumlah minimal yang bisa diterima perempuan. Pada ayat yang sama bahkan
disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama dengan laki-laki (ayah):
….Dan untuk dua orang ibu-bapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak….(an-Nisa/4:11)
Pendekatan tekstual terhadap
ayat-ayat al-Qur’an mesti diwaspadai karena mempunyai kecenderungan mengabaikan
spirit pemberdayaan pada seluruh ayat-ayat yang berkaitan dengan gender.
Muhammad Abduh mensinyalir sebagian besar kata-kata al-Qur’an telah berubah
kandungan maknanya bahkan pada masa dekat setelah turunnya.[16]
Perubahan makna ini dapat terjadi dalam bentuk pemahaman terhadap al-Qur’an
yang bertentangan dengan spirit awalnya.
Jika al-Qur’an yang diyakini tidak
bermasalah dalam otentisitasnya saja sudah mengandung potensi lahirnya wacana
agama yang bias gender, maka dapat diperkirakan seberapa besar potensi
teks-teks religius lainnya seperti hadis, tafsir, fiqih , dll. dalam melahirkan
wacana agama yang bias. Berbeda dengan teks al-Qur’an, hadis dapat bermasalah
dari segi periwayatan maupun redaksinya (sanad dan matan). Oleh karena itu
viliditas hadis bertingkat; shahih, hasan, dloif dan maudlu’ (palsu).
Tingkatan hadis yang paling tinggi adalah hadis yang secara sanad maupun
matannya tidak mengandung cacat.
Hadis yang mengandung bias gender
sangat mudah ditemukan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini:
Di antara haknya adalah andaikata di antara dua hidung suami
mengalir darah dan nanah lalu istrinya menjilati dengan lidahnya, ia belum
memenuhi hak suaminya. Seandainya manusia itu boleh bersujud kepada manusia,
niscaya aku perintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya. (HR. al-Hakim).[17]
Hadis ini dikutip Imam Nawawi dalam kitab Uqud ad-Dulujain.
Hingga kini, kitab tersebut masih dianggap sebagai rujukan utama di beberapa
pesantren di Indonesia.
Hasil penelitian Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) menunjukkan bahwa kualtitas
sanad hadis tersebut dloif (lemah) karena terdapat perawi yang bermasalah,
yaitu Sulayman bin Dawud dan al-Qasim. Imam Nawawi juga mengutip tiga hadis di
bawah ini:
Jika seorang istri menghabiskan malam dengan meninggalkan tempat
tidur suaminya, maka para malaikat mengutuknya sampai pagi. (HR. Bukhari Muslim).
Andaikata seorang wanita
menghabiskan waktu malamnya untuk shalat, siang harinya untuk puasa, lalu
suaminya memanggilnya ke tempat tidur sedangkan istri menundanya sesaat, maka
kelak pada hari kiamat ia akan diseret dengan rantai dan belenggu, berkumpul
dengan setan-setan hingga sampai di tempat yang serendah-rendahnya.
Bahwasanya wanita itu tidak
dapat memenuhi hak Allah sebelum memenuhi hak-hak suaminya. Seumpama suami
minta pada istrinya sementara istri sedang berada di atas punggung onta, maka
ia tidak boleh menolak dirinya. (HR. Ath-Thabarani)[18]
Hadis-hadis di atas dan semacamnya
pada umumnya bermasalah dalam sanad dan seluruhnya bermasalah dari segi matan.
Khalid M. Abu el Fadl menyebutkan tiga hal sebagai sebab tidak validnya
hadis-hadis tersebut menurut matan, yaitu bertentangan dengan kedaulatan Tuhan
dan Kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak, tidak selaras dengan diskursus
al-Qur’an tentang kehidupan pernikahan, dan tidak sejalan dengan keseluruhan
riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap istri-istrinya.[19]
Beberapa faktor pendukung lain
dalam lahirnya wacana agama yang bias adalah fakta bahwa perumusan ajaran agama
sejak awal didominasi oleh bangsa Arab, sebuah bangsa yang memiliki pra asumsi
bias dalam memandang perempuan. Hingga kini wacana Agama masih berkiblat ke
negeri Arab, sehingga tidak hanya relasi yang tidak imbang antara laki-laki dan
perempuan yang mereka tanamkan dalam kesadaran masyarakat Muslim di seluruh
dunia, tetapi juga relasi tidak seimbang antara Muslim dan non Muslim
berdasarkan pengalaman pahit yang merteka alami hingga kini di tanah Arab.
Beberapa
Upaya
Beberapa langkah yang bisa ditempuh
untuk menghindari bias gender dalam wacana agama adalah sebagai berikut:
1.
mewaspadai pengaruh budaya dan
bahasa Arab dalam wacana agama.
2.
membuat wacana agama yang
mendukung keadilan gender lebih popular daripada wacana agama yang mengandung
bias.
3.
Berperan aktif dan kritis dalam
memproduksi wacana agama menurut perspektif perempuan.
4.
Menyuguhkan konteks teks dan
konteks pembaca dalam memproduksi wacana agama.
5.
Menjadikan spirit keadilan
sebagai payung dalam memproduksi dan memahami wacana agama.
Sebagaimana bahasa pada umumnya,
bahasa Arab harus dipandang sebagai alat komunikasi. Alat ini sangat penting
artinya dalam menyampaikan pesan. Namun demikian, pentingnya alat tidak kan pernah melampaui
pentingnya tujuan dalam sebuah komunikasi, yaitu sampaiknya pesan. Sebagai
simbol, bahasa Arab mempunyai peranan penting dalam menyampaikan pesan ilahi
melalui al-Qur’an. Namun demikian, pentingnya simbol tidak akan pernah
melampaui pentingnya hal yang disimbolkan. Oleh karena itu, bahasa Arab penting
untuk dipelajari dalam memahami ajaran agama, namun bahasa Arab tetap harus
diwaspadai karakternya yang sangat bias agar ajaran agama tidak justru
digunakan sebagai alat diskriminasi terhadap perempuan atas nama agama.
DAFTAR LITERATUR
Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language, Englewood Cliffs:
Prentice Hall Inc., 1978.
Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum
il-Balaghah, Beirut:
Dar al-Jail, 1993.
At-Tabari, Jamiul Bayan, Kairo: 1957-1969Ibnu Haldun, Muqaddimah, Beyrut: Darul Fikir, tt
Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah
Baru Relasi Suami-Istri, Yogyakarta: LKiS,
2001
Husein Muhammad, Fiqh Perempuan:
Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, Yogyakarta:
LKiS, 2001.
Ismail R.
Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah Ilyas
Hasan, Bandung: Mizan, 2003.
Khaled M. Abou el Fadl, Atas Nama Tuhan: dari
Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep Lukman Hakim,
Jakarta: Serambi, 2004.
Leonard Bloomfield, Language, London: George Allen and Unwin Ltd., 1970.
Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan, Jakarta: P3M, 1993.
Muhammad Abduh, Al-Manar, Kairo: Darul Manar, 1367, Jilid.
I
Muhammad bin Iyas, Badaiz Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut: Maktabah
Saqafiyyah, tt.
Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The
Legal Research and Resource center for Human Right pages. (LRRC). Cairo, Egypt.
Roger Trigg, Understanding Social Science, Oxford:
Basic Blackwell, 1985.
*) Nur
Rofiah (rofiah_nur@yahoo.com) adalah Dosen Bidang Tafsir Institut PTIQ Jakarta.
Makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam di Grand Hotel Lembang,
Minggu-Kamis, 26-30 November 2006.
[1] Ismail
R. Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, penerjemah
Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 2003), h. 59.
[3] Masdar Farid Mas'udi, Agama Keadilan (Jakarta:
P3M, 1993), h. 13-14.
[4] Leonard Bloomfield, Language (London:
George Allen and Unwin Ltd., 1970), h. 142.
[5] Istilah imajinasi suara
menyiratkan bahwa suara yang menjadi dasar sebuah bahasa bukanlah suara fisik
yang dapat didengar itu melainkan pada kesan yang ditimbulkannya atau imajinasi
yang muncul melalui suara. Ketika manusia berbicara dengan dirinya sendiri
misalnya, ia tetap mendapatkan kesan itu sekalipun tanpa suara.
[6]Albert C. Baugh dan Thomas Cable, A History of The English Language (Englewood
Cliffs: Prentice Hall Inc., 1978), h. 2.
[7]Al-Quzwaini, Al-Idloh fi Ulum
il-Balaghah (Beirut: Dar al-Jail, 1993), h. 149.
[8]Al-Quzwaini, Al-Idhoh, h..152.
[9]Nasr Hamid Abu Zaid, Women in the Discourse of Crisis, The Legal Research and Resource
center for Human Right pages. (LRRC). Cairo,
Egypt.
[11] Realitas ini terekam dalam ayat al-Qur’an
sebagai berikut:
Tatkala diberitakan kepada seseorang di
antara mereka perihal kelahiran anak perempuan, wahjahnya cemberut menahan
sedih. Ia bersembunyi dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang
diterimanya, boleh jadi ia akan memeliharanya dengan penuh hina atau
menguburkannya (hidup-hidup) ke dalam tanah. Alangkah buruknya keputusan mereka
(an-Nahl,/16:58-59).
[12] At-Thabari, Jami’ al-Bayan (Kairo:
1057-19690, jilid VII, h. 599
[13] At-Tabari, Jami’ al-Bayan, h. 534-535
[14] Perempuan adalah setan yang diciptakan
untuk laki-laki, kami berlindung kepada Allah dari seburuk-buruk setan yang
menggoda. Lih. Muhammad bin Iyas, Badaiz
Zuhur fi Waqaid Duhur, Beirut:
Maktabah Saqafiyyah, tt., h. 52.
[15]Ibnu Haldun, Muqaddimah (Beyrut:
Darul Fikir, tt.), h. 438.
[17]Forum Kajian Kitab Kuning (FK3), Wajah
Baru Relasi Suami-Istri (Yogyakarta: LKiS,
2001), h. 94.
[18]Berdasarkan penelitian Husein Muhammad,
kitab yang menjadikan ketaatan istri pada suami sebagai tema sentral ini
mengandung kurang lebih 100 buah hadis. 20 hadis di antaranya mempunyai status la
ashla lahu (tidak jelas sembernya). Di samping itu, Khalid bin Muhammad
az-Zuwaidi juga menemukan adanya 31 hadis maudlu (palsu) dalam kitab
yang sama. Lihat Husein Muhammad, Fiqh Perempuan (Yogyakarta:
LKiS, 2001), h. 180-183. Hadis kedua di atas adalah maudlu berdasarkan
penelitian FK3, Wajah Baru, h. 65.
[19]Khaled M. Abou el Fadl, Atas
Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Penerjemah R. Cecep
Lukman Hakim (Jakarta: Serambi, 2004), h. 311.
sumber: dipertais.net
Itulah tadi artikel tentang Contoh Makalah Bahasa Arab. semoga bermanfaat