Berikut ini adalah posting tentang Contoh Makalah Sastra Daerah yang membahas tentang "Kajian Stilistika Serat Wedhatama Winardi Karya Mangkunagara IV Dalam Skripsi Nuning Peni Wardani". sebelumnya "Contoh Makalah Bahasa Indonesia Kalimat Efektif"
KAJIAN STILISTIKA SERAT WEDHATAMA WINARDI KARYA MANGKUNAGARA IV DALAM SKRIPSI NUNING PENI WARDANI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stilistika
Dosen Pengampu : Drs. Prasetya Adi W W, M.Hum
Oleh : Herwening Roro K (C0107007)
SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini kami susun guna melengkapi salah satu tugas mata kuliah Stilistika. Dengan selesainya makalah ini kami, selaku penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yth. Drs. Prasetya Adi W.W, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Wacana yang telah memberi waktu pada kami untuk menyusun makalah ini.
2. Orang tua, kakak, adik kami masing-masing dan teman-teman yang telah membantu terwujudnya makalah ini.
3. Semua pihak yang namanya tidak sempat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu hingga tersusunnya makalah ini.
Kiranya tiada gading yang tak retak, saya sadar akan keterbatasan pengetahuan, sehingga tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya saya selaku penyusun berharap agar tugas ini dapat bermanfaat bagi semua dan semoga Allah SWT meridhoinya, Amien.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dimiliki oleh setiap manusia, sehingga bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan akan selalu ada dalam setiap aktivitasnya. Bahasa merupakan suatu sarana yang penting dan efektif untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter, bahasa dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Harimurti Kridalaksana dalam Nuning 2004: 1).
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi yaitu alat pergaulan dan berhubungan dengan sesama. Komunikasilah yang memungkinkan terjadinya suatu sistem sosial atau yang disebut dengan massyarakat (Nababan dalam Nuning, 2004: 48).
Stilistika yang merupakan bagian dari ilmu bahasa berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris.Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya,perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah.Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:859),stilistika berarti ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika. 1)Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. 2)Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu.Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus.Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika.
Pengkajian stilistika ditujukan terhadap berbagai penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra. Namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Berbagai tujuan stilistika; Pertama menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kedua menentukan dan memperlihatkan penggunaan bahasa sastrawan, khusus penyimpangan dan penggunaan linguistik untuk memperoleh efek khusus. Ketiga, menjawab pertanyaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru memilih cara khusus?. Bagaimanakah efek estetis yang dapat dicapai melalui bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu mendukung tujuan estetis?. Keempat ,mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan impresif dengan analisis.Stil wacana sastra yang lebih obyektif dan ilmiah. Kelima, menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra. Keenam , mengkaji pelbagai bentuk gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam karyanya.
Bahasa Jawa merupakan suatu lambang identitas daerah dan sebagai alat komunikasi dalam lingkungan masyarakat Jawa. Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa untuk berinteraksi dengan sesamanya, dengan jawa pula masyarakat dapat mengemukakan segala sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Dalam segi kebahasaan, bahasa Jawa mempunyai struktur yang khas, baik berkaitan dengan urutan konstituennya mempunyai unsur-unsur yang membentuknya seperti yang terdapat dalam naskah-naskah Jawa yang berbentuk tembang. Naskah Jawa dalam bentuk tembang (macapat) menarik untuk dikaji hal ini disebabkan bentuk pola dan kalimat dalam tembang macapat dan disesuaikan dengan jumlah gatra wilangan (jumlah suku kata pada tiap-tiap baris ), guru gatra (jumlah baris dalam satu bait), dan guru lambang (jatuhnya bunyi vokal pada suku kata di akhir baris).
Tembang macapat merupakan wujud dari salah satu keindahan seni yang memiliki banyak jenisnya. Tembang macapat termasuk salah satu bagian dari Sekar Alit ‘Tembang kecil’ (Imam Sutardjo, 2006: 20). Macapat mempunyai pengertian membaca empat-empat “maca papat-papat” ada pula membaca dengan irama yang disesuaikan dengan metrum. Selain itu, macapat adalah membaca dengan irama denag penuh rasa karena dirasakan dari watak masing-masing tembang. Tembang macapat memiliki nilai-nilai filosofi yang sangat indah karena dari masing-masing nama tembang macapat yang berjumlah 11 tembang merupakan perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengambil kajian stilistika dalam Serat Wedhatama Winardi karya Mangkunagara IV yang terdapat dalam skipsi Nuning Peni Wardani.
B. Pembatasn Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak terlalu meluas maka perlu dijelaskan objek kajian, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan membantu dalam penelitian terutama dalam menganalisis stilistika dalam kaitannya dengan penelitian ini. Masalah yang dibatasi dalam penelitian ini adalah jenis bentuk yang menunjukan stilistika. Stilistika tersebut meliputi dasanama, repetisi dan majas yang ada dalam naskah Wedhatama Winardhi.
C. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi :
a. Bagaimankah diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam naskah Wedhatama Winardhi?
b. Bagaimanakah struktur kebebasan yang terikat dengan stilistika (keindahan) dalam naskah Wedhatama Winardi ?
c. Bagaimanakah gambaran isi atau maksud kandungan dari naskah Wedhatama Winardhi ?
D. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas dapat diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam naskah Wedhatama Winardhi.
2. Untuk mengetahui struktur kebahasaan yang terkait dalam, stilistika dalam naskah Wedhatama Winardhi.
3. Untuk gambaran isi atau maksud kandungan dari naskah Wedhatama Winardi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Diksi dan Gaya Bahasa
1. Diksi atau Pilihan Kata
Diksi atau pilihan kata dalam penelitian ini meliputi tentang pemakaian dasa nama, antara lain :
a) Dasa nama “anak”
Meliputi : siwi, suta, dan putra.
Contoh :
1) Akarana karenan mardi siwi.
“Dikarenakan senang mengajar kepada anak.”
2) Rehne ta suta priyayi.
“Bersabarlah anak priyayi.”
3) Parandene pari peksa marang putra.
“Akhirnya memaksakan diri kepada anak.”
b) Dasa nama “Allah”
Meliputi : hyang suksma, bathara, bathara agung, hyang wisesa, manon, hyang widhi, widhi, dll.
Contoh :
4) Yeku aran tapa tapaking hyang suksma.
“Itu disebut bertapaditelapak Tuhan.”
5) Bathara agung inguger graning jajantung.
“Tuhan terukir dalam jantung.”
6) Tanpa nugrahaning widhi.
“Tanpa keEsaan Tuhan.”
c) Dasa nama “ati”
Meliputi : kalbu, tyasing, driya, batos, dll.
Contoh :
7) Sinimpen telenging kalbu.
“Tersimpaan dalam hati yang paling dalam.”
8) Kinemat kamoting driya.
“Kenikmatan termuat dalam hati.”
9) Dumunung telenging batos.
“Terdapat dalam hati yang paling dalam.”
d) Dasanama “muda”
10) Pindha pandhane si mudha (p.6 Pangkur 6)
“seperti halnya si muda”
11) Arane para taruni (p.32 sinom b.2)
“sebutan para muda”
12) Saking duk makasih taruna (p.26 sinom b.1)
“Dari dulu ketika masih muda.”
Kata mudha, taruni dan taruna merupakan kata lain dari muda. Kata-kata tersebt selain digunakan untuk memperindah dan memperkaya ahasa tembang, juga digunakan untuk menyesuaikan jumlah suku kata (guru wilangan) dan dhongdhing (guru lagu) dalam tembang macapat. Begitupun dengan contoh dasamana yang lain, antara lain :
e) Dasanama “mata”
13) Wong agung ing ngeksi ganda. (p.15 sinom b.30)
“orang besar di kerajaan Mata harum (mataram)
14) Den awas ing pangeksi (p.88 kinanthi b.2)
“Selalu awas dalam penglihatan”
f) Dasanama “banyu”
15) Sesucine asarana saking warih (p.2 Gambuh b.3)
“ Bersucinya berasal dari air”
16) Sesucine tanpa banyu mung mring hardaning kalbu (p.12 Gambuh b.3)
“Bersesuci tanpa air hanya oleh keiklasan hati”
g) Dasanama “lintang”
17) Kadya kartika katonton (p.68 Gambuh b.4)
“seperti bintang yang terlihat”
2. Purwakanthi Guru Swara
Purwakanthi guru swara sama dengan asonansi yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama.
Pembahasan dari purwakanthi guru lagu atau asonansi adalah sebagai berikut :
18) Amung aneng sajabaning daging kulup (p. Pangkur b.5)
“Hanya ada di luar daging kulup.”
19) Kalakone saka eneng ening eling. (p.61 Gambuh b.3)
“Terlaksana dari (berada) dalam ingatan.”
20) Dhihin raga cipta jiwa rasa kaki. (p.18 Gambuh b.3)
“Pertama raga cipta jiwa rasa kaki.” (p.48 Gambuh b.3)
21) Ngelmu iku kelakone kanti laku (p.33 Pocung b.1)
“Ilmu itu diperolehdengan pengorbanan.”
Pengulangan vokal a, e, dan u pada data nomor (25), (26), (27), dan (28) tersebut di atas berurutan dalam satu kalimat dan berada pada akhir kalimat.
22) Bangkit mingkat reh mungkut (p.12 Pangkur b.3)
“Dapat menarik dengan baik”
23) Yen ben umbar ambabar dadi rubeda
“Jika dibiarkan akan berubah menjadi perbedaan”
24) Ngiket ngrungket triloka lekere kakukut.(p.65 Gambuh b.2)
“Mengikat tiga perkara”
Pengulangan konsonan pada data 29 sampai dengan data 31 di atas mengalami perubahan vokal. Perubahan bunyi vokal ini bertujuan untuk menyesuaikan guru lagu dan guru wilangan tembang, serta memperindah karya sastra.
3. Purwakanthi Sastra
Purwakanthi sastra sama dengan majas aliterasi yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
Pembahasan dari purwakanthi sastra atau majas aliterasi adalah sebagai berikut:
25) Mamangan marta martani ( p. Sinom b.2)
’ Membangun rasa yang welas asih’
26) Meruhi marang kang momong ( p. 58 Gambuh b.5)
’ Mengerti kepada yang mengasuh’
27) Lelana laladan sepi ( p. 17 Sinom b.2)
’ Pergi ke tempat yang sepi’
28) Lekase lawan kas ( p. 33 Pocung b.2)
’ Dilakukan dengan kemauuan’
29) Pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra ( p. 25 Sinom b.9)
’ Kencang lestari menahan makan dan tidur’
30) Parandene pari peksa mulang putra ( p.25 Sinom b.9)
’ Hanya untuk memberi ajaran kepada anak’
31) Sinuda saka sathithik ( p. 88 Kinanthi b. 4)
’ Dikurangi dari sedikit’
32) Tis tising tyas marsudi ( p. 17 Sinom b.5)
’ Lenging rasa yang utama’
33) Tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi ( p. 82 Gambuh b.3)
’ Tidak mendapatkan jika cacat apa yang terjadi’
34) Tata titi tumrah tumaruntun ( p. 53 Gambuh b.2)
’ tertata sampai selesai dengan urut’
35) Wisesa winisesa wus ( p. 14 Pangkur b.7)
‘ Baik dan baik akhirnya’
36) Wus wruh yen kawruhe nempil ( p. 95 Kinanthi b.2)
‘ Sudah tahu jika pengetahuannya meminjam’
37) Weruh warananing urip ( p. 86 Kinanthi b.2)
‘ Mengerti segala sesuatau bagi kehidupan’
38) Wantu wataking wawaton ( p. 49 Gambuh b. 2)
‘ Watak yang selalu ingin menang’
Perulangan konsonan pada data di atas perulangan konsonan yang berada dalam satu kalimat secara beruntun dan perulangan konsonan tersebut berada di depan kata, perulangan konsonan tersebut meliputi perulangan konsonan m pada kata mamangun ’membangun’ , marta ’rasa’ , dan martani ’welas asih’ ( kalimat 53), meruhi ’melihat’ , marang ’kepada’ , dan momong ’mengasuh’ (kalimat 54). Perulangan konsonan l pada kata lelana ’terlena’ , dan laladan ’dengan cara’(kalimat 55), lekase ’awalnya’ , dan lawan ’dengan’ (kalimat 56), perulangan konsonan p pada kata pungguh ’kencang’ dan panggah ’lestari’ (kalimat 57), kata parandene ’hanya’ , pari peksa ’memberi paksaan’ , dan putra ’anak’ (kalimat 58). Perulangan konsonan s pada kata sinuda ’berkurang’ , saka ’dari’ , dan sathithik ’sedikit’ (kalimat 59). Perulangan konsonan t pada kata tis- tising ’lenging’ dan tyas ’hati’ (kalimat 60), kata tuwas ’memperoleh’ dan tiwasa ’cacat’ (kalimat 61) kata tata, titi, dan tumaruntun ( kalimat 62). Perulangan konsonan w pada kata wisesa ’baik’ dan winisesa ’lebih baik’ ( kalimat 63), kata wus ’sudah’ , wruh ’mengerti’, warananing ’warna dari’ ( kalimat 65), kata wantu ’watak’ , wataking ’watak yang’, dan wawaton ’asal’ ( kalimat 66).
Perulangan konsonan m, l, p, t s, dan w pada data di atas merupakan suatu bentuk keindahan, dikatakan demikian karena perulangan konsonan tersebut secara berurutan berulang dan berada dalam satu kalimat selain itu perulangan tersebut terletak pada awal kata. Manfaat dari penggunaan perulangan tersebut adalah untuk membuat karya sastra tersebut terlihat indah dan membentuk suatu bentuk kepuitisan.
4. Purwakanthi Lumaksita
Purwakanthi lumaksita sama dengan gaya bahasa repetisi atau perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk membari tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Pembahasan dari gaya bahasa repetisi adalah sebagai berikut:
39) Nora uwus kareme anguwus uwus, uwuse tan ana...(p.45 Pocung b.1,2)
’ Tidak bermanfaat menyacat manfaat, manfaatnya tidak ada...’
40) Yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan narpati..( p.58 Gambuh b.2,3)
’Jika terganti juga jadi laku, laku agung yang memiliki raja.....’
41) Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun....( p. 62 Gambuh b.1,2)
’Niatnya menyatakan kehendak, kehendak tanpa tercapai terhadap indahnya kehendak....’
42) Kono ana sajatining urup, yeku urup pangarep uriping budi...( p.Gambuh b. 2,3)
”Di situ ada sejatinya hidup, yaitu hidup di depan kehidupan budi...”
43) Salami mung awas eling, eling lukitaning alam.... ( p.38 Kinanthi b.2,3)
’ Selama hanya awas ingat, ingat utamanya alam....’
44) Tanpa tuwas tanpa kasil ( p. 89 Kinanthi b.2)
’ Tanpa usaha tanpa hasil’
45) Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali..... ( p.92 KinaNTHI B. 1,2)
”Ucapnya jika selalu berkata, berkata seperti hanya seorang wali”
46) Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib- gaib... ( p. 93 Kinanthi b. 1,2)
’ Kepandaiannya hanya sedikit, sedikitnya hanya kekosongan’
47) Aywa esak aywa serik (p. 96 Kinanthi b.6)
’ Juga sabar juga iri’
48) Iku den awas den emut ( p. 72 Kinanthi b.4)
’ Maka dari itu selalu hati- hati dan ingatlah’
Perulangan kata laku ’perbuatan’ , uwus ’manfaat’, eling ’ingat’, urup ’kehiduoan’, muluk ’tinggi’, dan wuwus ’sedikit’ merupakan jenis perulangan kata dari baris atau kalimat terakhir dan diulang kembali pada kata awal pada baris atau kalimat selanjutnya.perulangan kata kayun ’kehendak’ merupakan perulangan kata yang ada di akhir kalimat dan diulang kembali pada kalimat atau bait selanjutnya tetapi diulang juga pada akhir kalimat atau bait. Perulangan kata tanpa ’tanpa’ , aywa ’juga dan kata den ’dan’ merupakan perluangan kata yang diulang dalam satu kalimat dan berurutan, kata tersebut digunakan untuk menekankan makna. Penggunaan perulangan kata tersebut di atas digunakan untuk memperindah bentuk suatu karya sastra dan menimbulkan rasa kepuitisan dalam suatu karya sastra.
5. Gaya Bahasa Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih- lebihan dengan membesarkan suatu hal.
Pembahasab dari gaya bahsa hiperbola adalah sebagai berikut:
49) Sinuba sinungkarta ( p. 1 Pangkur b.4)
’ Yang diidam- idamkan’
50) Amung kandel kumandel marang ing takdir (p. 72 Gambuh b.3)
’ Hanya merasa percaya dengan adanya takdir’
51) Lalandhepe mingis- mingis ( p. 85 Kinanthi b.4)
’ Tajamnya sangat tajam’
52) Babak bundhas anemahi ( p.90 Kinanthi b.6)
’ Luka yang parah akhirnya’
Pada kalimat 49 sampai 52 merupakan majas hiperbola hal ini dikarenakan kalimat tersebut bermakna sangat menyangatkan, misal pada kalimat kata sinuba sudah bermakna diharapkan tetapi setelah ditambah dengan sinungkarta yang bermakna diharapkan maka kata pada kalimat tersebut bermakna menyangatkan untuk diharapkan menjadi sesuatu. Kalimat 78 kandel ’tebal’ sudah bermakna tebal tetapi dengan ditambah kata kumandel yang bermakna menyangatkan maka kata kandel kumandel bermakna menjadi sudah tebal menjadi semakin tebal. Kalimat 51 kata landhep bermakna tajam tetapi setelah ditambah dengan kata mingis- mingis maka bermakna sangat amat tajam. Kalimat 52 kata babak bermakna luka yang terbuka setelah ditambah dengan kata bundhas maka kata tersebut bermakna.
6. Gaya Bahasa Persamaan atau Simile
Gaya bahasa persamaan atau simile adalah gaya bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu dengan kata-kata yang lain.
Pebahasan dari gaya bahasa personifikasi adalah sebagai berikut:
53) Sasadon ingadu manis (p.3 pangkur b.7)’berkata dengan cara yang halus
54) Nora mulur nalare ting saluwir ‘tidak nalar pikirannya ada dimana-mana’.
Kalimat 53 dan 85 mereupakan majas personifikasi karena kalimat tersebut bermakna perumppamaan. Misalnya kata manis (legi) biasanya digunakan untuk menyatakan manis, akan tetapi pada kalimat ini memiliki makna untuk menyatakan suatu hal yang halus.
B. Struktur Kebahasaan
7. Afiksasi
Afiks dalam morfologi dapa dibedakan menjadi empat macam antara lain :perfiks, infiks,sufiks dan konfiiks.pada penelitian ini sampel yang digunakan dalah afiks yang hanya menunjukkan keindakan saja.afiks yang digunakan meliputi prefiks {ka-}, perfiks{a(-N)-}dan {a-}, infiks {-in}, Infiks {-um}, konfiks {ka-an}, sufiks {-ing} dan {-ning}, dan sufiks {-ipun} dan {-nira}. Kejelasan afiks tersebut adalah sebagai berikut:
7.1. Prefiks {ka-}
Perfiks {ka-}berfungsi sebagai kata kerja pasif tindakan atau pasif keadaan.perfiks ini besifat terbuka dan frekuensinya tinggi.hal ini karena perfiks tersebut bisa bergabung dengan bermaam-macam.
Benuk dasar dan sering ditemukan dalam penelitian contohnya adalah sebagi berikut:
a. Katungkul sami’saling bersimpuh’ (p.23 sinom b.5)kata katungkul’bersimpuh = (ka+tungkul)
b. Yen kabul kabuka’jika terkabul terbuka’ p.1 pocung b.2 kabuka= (ka+buka)
7.2. Perfiks {a(N)-}dan {a-}
Prefiks {a-} yang diikuti nasal akan memiliki frekuensi tinggi misalnya berupa /n/./n/ dan /ng/,berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif misalnya sebagai berikut:
a. Dumadya angratoni’menjadi mengratoni’ p.18 sinom b.5 kata angratoni’mengratoni’=(a(N)+kraton+i)
b. Kapati amarsudi’termenung mencari ilmu(p.sinom b.5) kata amarsudi’mencari ilmu=(a+marsudi)
7.3. Perfiks {sa-}
Perfiks {sa-} membentuk kata keterangan. Kata keterangan tersebut meliputi kata keterangan tentang waktu dan kata keterangan suatu ukuran.
a. Samengko ingsun tutur (p.48 Gambuh b.1)
“Sekarang Aku bertutur”
b. Sabarang tindhak-tandhuk (p.47 Gambuh b.1)
“satu wujud kelakuan”
7.4. Infiks {-in}
Membentuk kata kerja pasif yang linier karena kata kerja pasif ini banyak di temukan dalam setiap bait tembang macapat daam penelitian ini. Misalnya sebagai berikut :
a. Sinawung resmining kidung ‘ terdapat dalam keindahan nyanyian ‘( p. 1 pangkur b. 4) kata sinawung terdapat ‘ = ( sawung + in ).
b. Sinuba sinungkarta ‘ dielu-elu ‘ ( p.1 pangkur b. 9 ) kata sinuba ‘ dielu-elu) =( suba + in).
c. Jinejer neng wedhatama ‘ berjejer pada wedhatama ‘ ( p.2 pangkur b.1 ) kata jinejer ‘ berjejer ‘= ( jejer +in).
d. Sinamun ing samundana ‘berada dalam perbedaan ‘ (p.3 pangkur b.6) kata sinamun ‘berada’=( samun +in).
Jika disejajarkan dengan {di-} misal : disimpen ‘ disimpan’, disambi ‘dengan’, digawe ‘dibuat’, dilimput’ditutupi’, dan ditonton ‘ diihat’ dengan kata sinimpen ‘ disimpan’ ginawe ‘dibuat’ liniput ‘ ditutupi’, dan tinonton ‘dilihat’, kata-kat yang berinfiks {-in} lebih memiliki kelitereran yang tinggi atau lebih mengandung kata arkhais tinggi jika dibanding dengan kat yang mengunakan perfiks {di-}.
7.5. Infiks {-um}
Infiks ini bisa bergabung dengan afiks lain seperti { -ing}, {-e} bersama membentuk bentukan yang lebih besar. Misalnya sebagai berikut :
a. Anggung gumarunggung ngungan sadina-dina ‘kata-kata yng sombong menjadi ucapan sehari-hari’ (p.5 pangkur b.6) kata gumunggung’ sombong’= (gunggung +um)
b. Gumarenggeng anggereng anggung gumarunggung ‘ saling berbisik kata-kata saling bersautan’ (p.6 pangkur b.5) kata gumarenggeng ‘ berbisik’ = (garenggeng +um) dan kata gumarunggung’ saling bersautan’ (grunggung +um)
c. Sumenggah seseorang ‘sombong ucapannya’(p.8 pangkur b.4)kata sumenggah ‘ sombong’ =(senggah+um)
7.6. Konfiks {ka-an}
Konfiks {ka-an} merupakan penggabungan dua afiks secara serentak bergabung bersama-sama dengan bentuk dasar yang berfungsi sebagai pembentuk kata benda, misalnya sebagai berikut :
a. Karem ing reh kaprawiran ‘ senang dengan tingkah laku keprajuritan’ (p.8 pangkur b.6) kata kaprawiran ‘ keprajuritan’ = (ka+prawira+an ).
b. Kakarangan saking bangsaning gaib ‘ ditulis dari golongan gaib’ (p.9 pangkur b.2) kata kakarangan ‘ ditulis’ (ka+karang+an ).
c. Kaseselan hawa ’kemasukan hawa‘( p.47 pocung b.2) kata kaseselan ‘ kemasukan’ = (ka+ sesel+an)
7.7. Sufiks {-ing} dan {-ning}
Sufiks -ing dan –ning ini sering ditemukan dalam tiap bait tembang macapat sehingga sufiks ini lebih banyak ditemukan jika dibanding dengan afiks-afiks yang lain. Terdapat bentuk –ing jika bentuk dasarnya konsonan dan jika bentuk dasarnya berakhir vocal maka menggunakan –ning, misalnya sebagai berikut.
a. Agama ageming aji ‘agama yang menjadi pakaian raja’ (p.1 Pangkur b.7) kata ageming ‘pakaian’ ? (agem + ing)
b. Lan traping angganira ‘dan sesuai dengan badannya’ (p.10 Pangkur 4) kata traping ‘disesuaikan’ ? (trap + ing)
c. Kakarangan saking bangsaning gaib ‘dikarang dari golongan gaib’ (p.9 Pangkurb.2) kata bangsaning ‘mialnya’ ? (bangsa + ning)
d. Sudaning hawa lan napsu ‘berkurangnya hawa dan napsu’ (p.15 Sinom b.6) kata sudaning ‘kurang dari’ ? (suda + ning)
Disamping sufiks –ing dan –ning di atas juga terdapat bentuk sufiks –ing dan –ning yang disertai dengan afiks yang lain misalnya :
a. Amung aneng sajabaning daging kulup ‘hanya ada di luar daging kulup’ (p.9 Pangkur b.5) kata sajabaning ‘di luar dari’ ? (sa + jaba+ ning).
b. Lumeketing angga ‘tertempel di badan’ (p.40 Pocung b.2) kata lumeketing ‘tertempel’ ? (leket + um + ing)
c. Den ngaksama kasisispaning sesame ‘selalu waspada dari tersisip kepada sesama’ (p.74 gambuh b.3) kata kasisipaning ‘tersisip’ ? (ka + sisip + a + ning)
Jika disejajarkan dengan sufiks {e-/ne-} maka sufiks {–ing dan –ning} lebih bersifat arkhais bila dibandingkan dengan sufiks {e-/ne-} meski makna yang diperoleh adalah sama.
7.8. Sufiks {-ipun} dan {-nira}
Sufiks –nira tergolong arkhais yang berfungsi sebagai penanda genetif. Sedang sufiks –ipun berfungsi sebagai kata kerja. Misalnya sebagai berikut :
a. Socaning jiwangganira ‘ciri-ciri dari badan’ (p.8 Pangkur b.1) kata jiwangganira ‘jiwa dari’ ? (jiwa + angga + nira)
b. Lan traping angganira ‘dan tepat dari badan’ (p.10 Pangkur b.4) kata angganira ‘badan dari’ ? (angga + nira)
c. Tinelat labetanipun ‘dicontoh perlunya’ (p.21 sinom b.6) kata labetipun ‘perlunya’ ? (labet + ipun)
d. Iya ing sakarsanipun ‘ya juga kehendaknya’ (p.20 Sinom b.6) kata sakarsanipun ‘kehendaknya’ ? (sa + karsa + nipun)
8. Reduplikasi
Reduplikasi atau perulangan dalam bahasa Jawa dengan adanya dwi lingga “perulangan kata”, dwi purwa “ perulangan suku kata depan”, dwi wasana” perulangan suku kata belakang”, dan dwi lingga salin swara “ perulangan kata berubah bunyi “. Dalam penelitian ini yang banyak ditentukan adalah bentuk perulangan dwi lingga dan dwi lingga salin swara.
8.1. Dwi Lingga Salin Swara
Kata yang merupakan dwi lingga salin swara antara lain :
a. Mingkar-mingkuring angkara ‘ menghindari perbuatn buruk ( p.1 pangkur b.1 ) kata mingkar-mingkuring’ perkataan yang tidak sesuai.
b. Kinanthi b.4) kata pandak-pandaking ‘ tidak tahan’.
Disebut dwi lingga salin karena mengalami perubahan terutama Pandak-pandaking pambudi ‘ tidak tahan pambudi’ (p.84 pada perubahan bunti vocal misal pada kata kar menjadi kur, nyak menjadi nyuk, ndak menjadi nduk. Sufiks { -ing} digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan guru wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
8.2. Dwi Lingga Bentuk Asal
Kata yang termasuk dari dwi lingga bentuk asal antara lain :
a. lalana teka-teki ‘ terlena pada bertapa’ ( p.16 Sinom b. 15) kata teke-teki ‘bertapa’
b. lawas-lawas graita ‘bekas penglihatan’ (p.27 Sinom b.7) kata lawas-lawas ‘ bekas’
Disebut dwi lingga bentuk asal karena terjadi perulangan kata dasarnya atau bentuk dasarnya. Kata teki dan lawas merupakan bentuk dasarnya.
8.3. Dwi Lingga Tak Serempak
Kata yang merupakan dwi lingga tak serempak antara lain:
a. ngandhar-andhar angendhukur ‘ meluas membau’ ( p.4 Pangkur b.3) kata ngandhar-andhar ‘ membau ?(a(N)andhar-andhar).
b. marma dipun ngati-ati’ maka harus berhati-hati’ (p.89 Kinanthi b.4) kata ngati-ati’ hati-hati’ ? (a(N)ati-ati)
c. ngarep-arep urub arsa den kurebi ‘ mengharapkan hidupnya jika diikuti’ (p.52 Gambuh b.3) kata pangarep-arep ‘ mengharap’ ? (a(N) arep-arep).
Kata tersebut dwi lingga tak serempak karena unsur dasar yang pertama berprefiks N dan a(N) dan kata berikutnya adalah bentuk dasarnya. Prefiks N dan a(N) digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan gur wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
Kata lain yang disebut dwi lingga tak serempak antara lain :
a. Anggung gumarunggung ugungan sadina-dina’ selalu berusaha keras agar dipuji sehari-hari’ (p.5 Pangkur b.6) kata sedina-dina ‘sehari-hari’ ? sa+dina-dina
b. Marma ing sabisa-bisa’ oleh karena dalam sedapat-dapatnya’ (p.10 Pangkur b.1) kata sebisa-bisa’ sebisa-bisanya’? sa+bisa-bisa
Kata tersebut disebut bentuk dwi lingga tak serempak karena unsur pertama berprefiks {sa-} dan kata berikutnya merupakan bentuk kata dasarnya. Perfiks {sa-} digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan guru wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
8.4. Perubahan Kata
Dalam tembang macapat sering ditemukan perubahan kata yang disebabkan karena adanya ketentuan dari tembang macapat yaitu dalam ketentuan guru wilangan “ jumlah suku kata dalam satu bait”. Perubahan kata yang dimaksud misalnya :
a. Mring tapaking tepa tulus ‘ kepada jejak keteladanan (p.11 Pangkur b.3) kata mring ‘ kepada’ ? ( marang+ing)
b. Nayakeng rat Gusti Rasul’ yang merajai seperti Gusti Rasul’ (p.22 Pangkur b.1) kata nayakeng ‘raja di’ ? ( nayaka+ing)
c. Sarat sareh saniskareng laku’ sarat sabar dalam menjalankan cipta’ (p.61 Gambuh b.2) kata saniskareng ‘ jalan dari’ ? (sanikara + ing )
C. Isi atau Kandungan Naskah
Isi naskah naskah Wedhatama Winardhi antaralain mengajarkan tentang budi pekerti luhur, pendidikan, keTuhanan dan kepemimpinan. Ajaran pokok budi luhur adalah untuk tidak henti-hentinya diresapi agar ajaran itu tetap melekat sampai usia lanjut. Hal ini tertuang dalam tembang Pangkur bait 2 yang berunyi sebagai berikut:
Jinejar neng wedhatama,
mrih tan kemba kerabenganing pambudi,
mangka nadyan tuwa pikun,
yen tan makani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah samun,
samangsane pakumpulan,
gonyang-ganyung nglilingsemi.
Terjemahan:
Disajikan dalam Wedhatama,
Agar jangan kekurangan penertian,
Bahwa sebenarnya walau telah tua bangka,
jika tidak punya perasaan,
sebenarnya tanpa guna,
bagai sepah buangan,
bila dalam pertemuan,
sering bertindak salah dan memelukan.
Ditengah-tengah pergaulan jika seseorang tidak menggunakan rasa atau tenggang rasa maka ia akan tersisih dari pergaulan, ia tidak dapat menempatkan diri seolah-olah tidak ada orang lain dan ia tidak sadar bila dipehatikan orang lain disekitarnya.
Seseorang yang kurang peka terhadapa keadaan lingkungan sekitar siasanya suka menyendiri dan cenderung bersifat egois. Ia senang menyendiri dan tidak mau dikatakan bodoh. Bila seseorang yang bijak menanggapi orang yang bersifat seperti itu, ia akan tetap bersiakp arif. Cara berbicara atara orang bodoh dengan orang yang biajak sangat berbeda. Orang bodoh berbicara penuh dengan kesombongan dan isi pempicaraannya kadang tidak masuk akal. Sedangkan orang yang bijak dan pandai sesalu berbicara dengan manis, menyampaikan segala sesuatu dengan tidak cara meggurui dan tidak mengginkan pujian dari apa yang disampaikanya. Orang pandai selalu berusaha menutupi kebodohan si Dungu yang selalu memperlihatkan kebodohannya kepada orang lain. Hal ini tertang dalam tembang Pangkur bait 4,5,6 sebagai berikut :
Sipengung nora nglegewa,
sangsayarda denira cacariwis,
ngandar-andar angendhukur kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
si wasis waskitha ngalah,
ngalilingi marang si pinging.
Terjemanhan :
Si Dungu tidak menyadari,
bualannya semakin menjadi-jadi,
melantaur tidak karuan,
bicaranya yang hebat-hebat,
makin aneh dan tidak masuk akal,
si Pandai maklum da mengalah,
menutupi ulah si Bodoh.
Mangkono ngelmu kang nyata,
sanyatane mung weh reseping ati,
bungah ingaranan cubluk,
sukeng tyas yen denina,
nora kaya si punggung anggung gumunggung,
ugungan sadina-dina,
aja mangkono wong urip.
Terjemahan :
Demikianlah ilmu yang sejati,
Sebenarnya hanya menyenangkan hati,
Suka dianggap bodoh,
Gembira apabila dihina,
Tidak seperti si Dunguyang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari,
Jangan demikianlah hidup dalam pergaulan.
Uripe sapisan rusak,
nora mular nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,
senerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si muda,
prandene paksa kumaki,
Terjemahan :
Hidup hanya sekali di dunia berantakan,
Tidak berkembang,
pikirannya tercabik-cabik (Picik),
ibarat gua gelap menyeramkan,
suara berkumandang keras sekali,
demikianlah anak muda jika picik pengethuannya,
namun demikian sombongnya minta ampun.
Ajaran selanjutnya adalah tentang kepemimpinan yang tercantum dalam tembang Sinom. Kita harus mencontoh Panembahan Senapati raja Mataram agar kita selalu dapat mengendalikan hawa nafsu. Pengendalian hawa nafsu dapat dilakukan dengan cara bertapa, puasa, dan pantang. Tutur kata kita harus sopan dan menjaga perasaan orang lain agar tidak menyakiti hati orang yang menjadi mitra tutur kita. Pada saat lenggang atau saat kita tidak memiliki kesibukan, kita harus selalu mawas diri agar segala kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lal tidak di ulangi lagi. Bila kita dapat mengdalikan diri dan selalu berusaha untuk tetap di jalan Tuhan dan berusaha selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh Panembahan Senapati, maka kita akan hidup tentram dan makmur. Ajaran ini terdapat dalam tembang sebagai berikut:
Nuladha laku utama,
tumraping wong tanah jawi,
wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senopati,
kapati amersudi,
sudane hawa lan napsu,
pinesu tapa brata,
tanaping ing siang ratri,
amemangun karyanak tyasing sasana.
Terjemahan:
Contohlah tindak utama,
bagi kalangan rang Jawa (Indonesia),
orang besar di Ngeksiganda (Mataram),
yaitu Panembahan Senapati,
yang tekun,
mengurangi hawa nafsu,
dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam selalu menyenagkan orang lain (kasih sayang).
Samangsane pasamuan,
memangun marta martini,
sinambi ing saben mangsa,
kala-kalaning ngasepi,
lelana teka-teki,
nggayuh geyonganing kayun,
kayungyun heninging tyas,
sanityasa pinrihatin,
puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.
Terjemahan:
Dalam setiap pertemuan,
Menciptakakn kebahagaan lahir batin dengan sifat tenang dan sabar,
Sementara itu pada setiap kesempatan,
Dikala tiada kesibukan,
mengembara bertapa,
mencapai cita-cita hati,
terpesona kan suasana yang syahdu,
senantiasa hati dibuat prihatin,
dengan berpegang teguh,
mencegah makan maupun tidur.
Saben mendra saking wisma,
lelana laladan sepi sepi,
ngingsep sepuking supana,
mrih pana pranawang kapti,
titising tyas marsudi,
mardawaning budaya tulus,
mesumeh kasudarman,
neng tepining jalanidni,
sruning brata kataman wahyu dyatmika.
Terjemahan:
Setiap pergi meninggalkan istana,
Berkelana ketempat yang sunyi,
Menghiruppelbagai tingkatan ilmu yang baik,
Agar jelas (tercapai) yang dituju.
Maksud hati mencapai,
Kelembutan hati yang utama,
memeras kemampuannya dalam hal menghayati cintakasih,
Ditepi samudra.
Dikarenankan kerasnya bertapa (iktiar) medapat anugerah Illahi.
Dalam mencari ilmu hendaknya sabar dan ketekunan agar memilki manfaat yang suci dan berguna. Ilmu dapat diperoleh dari lingkungan keluarga, sekolah ,dan masyarakat. Dalam tembang pocung bait 33 dijelaskan:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara.
Terjamahan :
Ilmu itu diperoleh dengan pengorbanan
Dilakukan dengan kemauan
Artinya kemauan yang bermanfaat
Ketegasan iman dan budi menjauhkan dari godaan.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa tercapainya suatu kepandaian tidak dengan instan tetapi diperoleh dengan usaha keras dengan didasari rasa sabar, tekun dan ikhlas.
Kepandaian akan mengendalikan segala angkara yangdatang mengganggu. Hendaknya kita mampu menahan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita. Pelajaran tentang pengendalian diri ini tercantum dalam bait 34 berikut:
Angkara gung
neng angga anggung gumulung
Gegolonganira,
Triloka lekere kongsi,
Yen den umbar ambabar dadi rubeda
Terjemahan:
Keangkaraan besar,
Berada dalam badan salig bergantian,
Golongannya,
Triloka artinya itu,
Jika dibiarkan akan berubah menjadi perbedaan.
Bersabar dalam menghadapi godaan yang menghadang dan mampu menahan segala sesuatu yang menghalangi dalam menapai suatu tujuan hidup “ilmu”. Segala godaan dan halangan hendaknya kita buang jauh dari hati kita. Seperti yang terantum dalam bait 36.
Taman limut,
Durgameng tyas kang weh limput,
Kerem ing karamat,
Karana karoban ing sih,
Sihing sukma ngrebda saardi gengira.
Terjemahan:
Tidak lupa,
Kepada marahnya hati yang membuat gelap,
Senang kerahmatan,
Karena kebanjiran cinta kasih,
Berasal dari sukma yang mengembara sebesar gunung.
Mencari ilmu tidak terbatas tempat, ruang, waktu dan umur. Sikap mau beusaha dan jagan merasa puas dengan apa yang kita capai serta jangan menyombongkan ilmu yang kita miliki kepada orang lain. Seperti yang terantum dalam bait 37 berikut.
yeku patut,
tinulad tulad tinurut,
sapituduhira,
aja kaya jaman mangkin,
keh para mudha mudhi rapal makna
Terjemahan:
Itu patut,
Dijadikan teladan,
Seperti itulah,
Jangan seperti jaman dulu
Banyak para muda mudi menghapal makna.
Kita tidak perlu menonjolkan kepandaian kita kepada orang lain sebab belum tentu kepandaian kita lebih dari orang lain. Menerima dan menghargai pendapat orang lain adalah hal yang utama. Seperti yang terantum dalam bait 38 berikut:
Durung pecus,
Kesusu kaselak besus,
Amaknani rapal,
Kaya sayid weton Mesir,
Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
Terjemahan:
Belum bisa,
Tetapi tergesa-gesa,
Memberi makna mantra,
Seperti pelajar asal Mesir,
Selalu saja meremehkan kepandaian orang lain.
Mencari ilmu pada jaman sekarang memang sangat penting karena bila kita tidak memiliki kepandaian maka kita akan menjadi bodoh dan tidak dapat mengikuti perkembangan jaman yang semakin maju. Namun juga harus diingat bahwa perkembangan jaman jangan sampai membuat kita terlalu larut dan terlena hingga kita lupa dengan tujuan hidup kita. Seperti yang termuat dalam bait 42 berikut:
Basa ngelmu,
Mupangate lan panemu,
Pasahe lan tapa,
Yen satriya tanah Jawi,
Kuna-kuna kang ginilit tri prakara.
Terjemahan:
Yang namanya ilmu,
Cocoknya dengan pendapat,
Berhasilnya dengan bertapa,
Bagi satriya Jawa,
Dahulu kala yang menjadi pegangan tiga hal.
Penerapan ilmu pengetahuan sebaiknya diselaraskan dengan hasil penelitian dan pengamatan selanjutnya hasil tersebut perlu dianalisis agar langkah kita tidak salah. 3 sifat dalam tembang pucung tersebut yang perlu kita miliki, yaitu:
• Rela yaitu tidak menyesal bila kehilangan atau memberi sesuatu.
• Tabah dan sabar bila kita dituduh atau dicurigai sesama manusia.
• Tawakal yaitu berpasrah diri kepada Tuhan bila kita sudah tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah meskipun kita sudah berusaha menyelesaikannya.
Ajaran tentang keTuhanan atau agama terletak pada pupuh gambuh. Ajaran tentang menyembah kepada Tuhan. Sembah ada empat macam yaitu sembah raga, sembah jiwa, sembah rasa, sembah kalbu.
Pada bait ke 49 dijelaskan tentang pengertian sembah raga yang mengibaratkan bahwa langkah permulaan dalam pencapaian kemuliaan. Tujuan pokok dari sembah raga adalah untuk memaksa dan membiasakan diri untuk diam dan hening “bersemedi” bagi umat islam dengan menjalankan sholat lima waktu
Sembah raga puniku
Pakartine wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang waktu
Wantu wataking wawaton
Terjemahan
Sembah raga puniku
Pakartine wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang waktu
Wantu wataking wawaton
Kemudian pada bait ke 58 dijelaskan tentang sembah cipta atau kalbu, sembahnya angan-angan luhur untuk mendekatkan diri kepada tuhan, tujuan dari sembah cipta adalah untuk membuat sucinya kalbu, maka cara membersihkannya tidak dengan air melainkan dengan kehendak yang teratur dan terbiasa.
Samengko sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan Narpati
Patitis tetesing kawruh
Meruhi marang kang momong
Terjemahan
Sekarang sembah kalbu
Jika terganti juga menjadi perbuatan
Perbuatan agung yang memiliki adalah Raja
Yang telah ditetesi ilmu
Dan menemui yang mengasuh
Bila melaksanakan sembah kalbu denagn benar maka dapat melihat yang benar, menuju kenyataan, hilang semua hal yang telah menghalang-halangi pandangan batiniah dan lahiriah, sebaliknya jika sembah cipta itu batal atau tidak dijalankan dengan baik, maka akan menimbulkan rasa sombong, selalu minta dipuji dan dihormati. Maka harus selalu ingat dan waspada tentang hokum sebab akibat dari perbuatannya sendiri.
Pada bait ke 65 dijelaskan tentang tatacara dari sembah jiwa adalah dengan mengkonsentrasikan ingatan atau pikiran dan rasa yang datang dari lubuk hati tertuju kepada tuhan dan percaya akan kuasa-Nya.
Ruktine nyangkah agungkut
Ngiket ngrungkut triloka lekere kakukut
Jagad agung
Ginulung lan jagad alit
Den kandel kumandel kulup
Mring kelaping alam kono
Terjemahan
Kehormatannya mengangkat
Mengikat tiga perkara
Dunia yang agung
Digulung dan dunia kecil
Dengan kekuatan kehendak
Terhadap kilaunya alam itu
Dan yang terakhir dalam pencapaian kemuliaan tuhan adalah sembah rasa yaitu sembah dari rasa manusia yang tidak dapat diperlihatkan bentuknya kecuali dengan daya kekuatan, dalam fase ini manusia telah mencapai manunggal “ mati atau bersatu dengan Tuhan”
Kandungan tentang budi pekerti dicantumkan dalam tembang pangkur karena meskipun usia kita telah lanjut budi pekerti yang luhur harus kita miliki agar dapat kita jadikan sebagai pedoman dan pegangan hidup.
Kandungan tentang kepemimpinan, Mangkunegara menggunakan tembang sinom karena dimaksudkan agar para muda meniru teladan dari Panembahan Senopati yang memiliki jiwa kepemimpinan yang patut untuk diteladani.
Kandungan tentang ilmu Mangkunagara cantumkan dalam tembang pocung karena ilmu dan pengetahuan tidak kenal usia, pendidikan dapat diperoleh dan dicari tanpa memandang batas usia. Hal ini disesuaikan dengan falsafah tembang pocung yaitu masa manusia itu mati dan kemudian dipocong yang mencerminkan bahwa mencari ilmu itu tidak akan berhenti sampai manusia itu mati.
Kandungan tentang keTuhanan atau agama terletak pada pupuh Gambuh, karena dapat diartikan sesuai dengan falsafah tembang macapat bahwa gambuh adalah masa tua yang perlu untuk menyempurnakan agama sebagai bekal bila manusia mati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat kita ambil antara lain :
1. Diksi atau pilihan kata yang ditemukan dalam naskah Serat Wedhatama Winardi antara lain : dasanama, purwakanthi guru swara, purwakanthi sastra, purwakanthi lumaksita. Sedangakan gaya bahasa yang ditemukan hiperbola, simile dan personifikasi.
2. Struktur kebahasaan yang ada dalam naskah ini antara lain : Afiksasi {ka-}, {a-}, {a(N)-}, {a-}, {-in-}, {-um-}, {ka-an}, {ing}, {ning}, {-ipun} dan {-nira} serta reduplikasi.
3. Isi dari naskah serat Wedhatama Winardi adalah ajaran hidup serta budi pekerti luhur untuk masyarakat Jawa khususnya dan manusia pada umumnya meliputi pendidikan, ke-Tuhanan dan kepemimpinan yang tertuang dalam bentuk tembang mocopat.
DAFTAR PUSTAKA
Nuning Peni Wardani (C0104023). 2004. Skripsi Kajian Stilistika Serat Wedhatama Winardi Karya Mangkunagara IV. Fakultas Sastra dan Seni Rupa: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Untuk versi original dari makalah Sastra Daerah diatas, silakan Sobat (klik disini) untuk menyimpannya di kompi/laptop Sobat, filetype:doc
Itulah tadi posting tentang Contoh Makalah Sastra Daerah. semoga bermanfaat
KAJIAN STILISTIKA SERAT WEDHATAMA WINARDI KARYA MANGKUNAGARA IV DALAM SKRIPSI NUNING PENI WARDANI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Stilistika
Dosen Pengampu : Drs. Prasetya Adi W W, M.Hum
Oleh : Herwening Roro K (C0107007)
SASTRA DAERAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayah, dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini kami susun guna melengkapi salah satu tugas mata kuliah Stilistika. Dengan selesainya makalah ini kami, selaku penyusun tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :
1. Yth. Drs. Prasetya Adi W.W, M.Hum selaku dosen pengampu mata kuliah Kajian Wacana yang telah memberi waktu pada kami untuk menyusun makalah ini.
2. Orang tua, kakak, adik kami masing-masing dan teman-teman yang telah membantu terwujudnya makalah ini.
3. Semua pihak yang namanya tidak sempat saya sebutkan satu persatu yang telah membantu hingga tersusunnya makalah ini.
Kiranya tiada gading yang tak retak, saya sadar akan keterbatasan pengetahuan, sehingga tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.
Akhirnya saya selaku penyusun berharap agar tugas ini dapat bermanfaat bagi semua dan semoga Allah SWT meridhoinya, Amien.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahasa dimiliki oleh setiap manusia, sehingga bahasa tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan akan selalu ada dalam setiap aktivitasnya. Bahasa merupakan suatu sarana yang penting dan efektif untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi yang arbiter, bahasa dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri (Harimurti Kridalaksana dalam Nuning 2004: 1).
Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi yaitu alat pergaulan dan berhubungan dengan sesama. Komunikasilah yang memungkinkan terjadinya suatu sistem sosial atau yang disebut dengan massyarakat (Nababan dalam Nuning, 2004: 48).
Stilistika yang merupakan bagian dari ilmu bahasa berasal dari istilah stylistics dalam bahasa Inggris.Istilah stilistika atau stylistics terdiri dari dua kata style dan ics. Stylist adalah pengarang atau pembicara yang baik gaya bahasanya,perancang atau ahli dalam mode. Ics atau ika adalah ilmu, kaji, telaah.Stilistika adalah ilmu gaya atau ilmu gaya bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:859),stilistika berarti ilmu tentang penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Dalam Kamus Linguistik, Kridalaksana (1982:159) membeberkan pengertian stilistika. 1)Ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan. 2)Penerapan linguistik pada penelitian gaya bahasa.
Istilah stilistika sejak 1980-an ini mulai dikenal di dunia Pengetahuan Tinggi sebab telah menjadi satu disiplin ilmu.Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan selama ini bahwa dalam usaha memahami karya sastra para kritikus sastra menggunakan pendekatan intrinsik dan ekstrisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa pendekatan sekaligus.Semua itu ada hukum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang alasan pengarang menciptakan karya tertulis, gagasan yang hendak disampaikan ataupun hal-hal yang mempengaruhi cara penyampaiannya semua itu dilakukan untuk merebut makna yang terkandung dalam karya sastra serta menikmati keindahannya. Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah bahasa, pengantar bahasa pasti akan mengungkapkan hal-hal yang membantu kita menafsirkan makna suatu karya sastra atau bagian-bagiannya untuk selanjutnya memahami dan menikmatinya. Pengkajian ini disebut pengkajian stilistika.
Pengkajian stilistika ditujukan terhadap berbagai penggunaan bahasa, tidak terbatas pada sastra. Namun biasanya stilistika lebih sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Berbagai tujuan stilistika; Pertama menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan maknanya. Kedua menentukan dan memperlihatkan penggunaan bahasa sastrawan, khusus penyimpangan dan penggunaan linguistik untuk memperoleh efek khusus. Ketiga, menjawab pertanyaan mengapa sastrawan mengekspresikan dirinya justru memilih cara khusus?. Bagaimanakah efek estetis yang dapat dicapai melalui bahasa? Apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk tertentu mendukung tujuan estetis?. Keempat ,mengganti kritik sastra yang bersifat subyektif dan impresif dengan analisis.Stil wacana sastra yang lebih obyektif dan ilmiah. Kelima, menggambarkan karakteristik khusus sebuah karya sastra. Keenam , mengkaji pelbagai bentuk gaya bahasa yang digunakan oleh sastrawan dalam karyanya.
Bahasa Jawa merupakan suatu lambang identitas daerah dan sebagai alat komunikasi dalam lingkungan masyarakat Jawa. Bahasa Jawa sebagai alat komunikasi memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat Jawa untuk berinteraksi dengan sesamanya, dengan jawa pula masyarakat dapat mengemukakan segala sesuatu yang ada dalam pikirannya.
Dalam segi kebahasaan, bahasa Jawa mempunyai struktur yang khas, baik berkaitan dengan urutan konstituennya mempunyai unsur-unsur yang membentuknya seperti yang terdapat dalam naskah-naskah Jawa yang berbentuk tembang. Naskah Jawa dalam bentuk tembang (macapat) menarik untuk dikaji hal ini disebabkan bentuk pola dan kalimat dalam tembang macapat dan disesuaikan dengan jumlah gatra wilangan (jumlah suku kata pada tiap-tiap baris ), guru gatra (jumlah baris dalam satu bait), dan guru lambang (jatuhnya bunyi vokal pada suku kata di akhir baris).
Tembang macapat merupakan wujud dari salah satu keindahan seni yang memiliki banyak jenisnya. Tembang macapat termasuk salah satu bagian dari Sekar Alit ‘Tembang kecil’ (Imam Sutardjo, 2006: 20). Macapat mempunyai pengertian membaca empat-empat “maca papat-papat” ada pula membaca dengan irama yang disesuaikan dengan metrum. Selain itu, macapat adalah membaca dengan irama denag penuh rasa karena dirasakan dari watak masing-masing tembang. Tembang macapat memiliki nilai-nilai filosofi yang sangat indah karena dari masing-masing nama tembang macapat yang berjumlah 11 tembang merupakan perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati.
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk mengambil kajian stilistika dalam Serat Wedhatama Winardi karya Mangkunagara IV yang terdapat dalam skipsi Nuning Peni Wardani.
B. Pembatasn Masalah
Untuk membatasi permasalahan agar tidak terlalu meluas maka perlu dijelaskan objek kajian, hal ini dimaksudkan untuk memudahkan dan membantu dalam penelitian terutama dalam menganalisis stilistika dalam kaitannya dengan penelitian ini. Masalah yang dibatasi dalam penelitian ini adalah jenis bentuk yang menunjukan stilistika. Stilistika tersebut meliputi dasanama, repetisi dan majas yang ada dalam naskah Wedhatama Winardhi.
C. Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini meliputi :
a. Bagaimankah diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam naskah Wedhatama Winardhi?
b. Bagaimanakah struktur kebebasan yang terikat dengan stilistika (keindahan) dalam naskah Wedhatama Winardi ?
c. Bagaimanakah gambaran isi atau maksud kandungan dari naskah Wedhatama Winardhi ?
D. Tujuan Penulisan
Dari perumusan masalah di atas dapat diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui diksi dan gaya bahasa yang terdapat dalam naskah Wedhatama Winardhi.
2. Untuk mengetahui struktur kebahasaan yang terkait dalam, stilistika dalam naskah Wedhatama Winardhi.
3. Untuk gambaran isi atau maksud kandungan dari naskah Wedhatama Winardi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Diksi dan Gaya Bahasa
1. Diksi atau Pilihan Kata
Diksi atau pilihan kata dalam penelitian ini meliputi tentang pemakaian dasa nama, antara lain :
a) Dasa nama “anak”
Meliputi : siwi, suta, dan putra.
Contoh :
1) Akarana karenan mardi siwi.
“Dikarenakan senang mengajar kepada anak.”
2) Rehne ta suta priyayi.
“Bersabarlah anak priyayi.”
3) Parandene pari peksa marang putra.
“Akhirnya memaksakan diri kepada anak.”
b) Dasa nama “Allah”
Meliputi : hyang suksma, bathara, bathara agung, hyang wisesa, manon, hyang widhi, widhi, dll.
Contoh :
4) Yeku aran tapa tapaking hyang suksma.
“Itu disebut bertapaditelapak Tuhan.”
5) Bathara agung inguger graning jajantung.
“Tuhan terukir dalam jantung.”
6) Tanpa nugrahaning widhi.
“Tanpa keEsaan Tuhan.”
c) Dasa nama “ati”
Meliputi : kalbu, tyasing, driya, batos, dll.
Contoh :
7) Sinimpen telenging kalbu.
“Tersimpaan dalam hati yang paling dalam.”
8) Kinemat kamoting driya.
“Kenikmatan termuat dalam hati.”
9) Dumunung telenging batos.
“Terdapat dalam hati yang paling dalam.”
d) Dasanama “muda”
10) Pindha pandhane si mudha (p.6 Pangkur 6)
“seperti halnya si muda”
11) Arane para taruni (p.32 sinom b.2)
“sebutan para muda”
12) Saking duk makasih taruna (p.26 sinom b.1)
“Dari dulu ketika masih muda.”
Kata mudha, taruni dan taruna merupakan kata lain dari muda. Kata-kata tersebt selain digunakan untuk memperindah dan memperkaya ahasa tembang, juga digunakan untuk menyesuaikan jumlah suku kata (guru wilangan) dan dhongdhing (guru lagu) dalam tembang macapat. Begitupun dengan contoh dasamana yang lain, antara lain :
e) Dasanama “mata”
13) Wong agung ing ngeksi ganda. (p.15 sinom b.30)
“orang besar di kerajaan Mata harum (mataram)
14) Den awas ing pangeksi (p.88 kinanthi b.2)
“Selalu awas dalam penglihatan”
f) Dasanama “banyu”
15) Sesucine asarana saking warih (p.2 Gambuh b.3)
“ Bersucinya berasal dari air”
16) Sesucine tanpa banyu mung mring hardaning kalbu (p.12 Gambuh b.3)
“Bersesuci tanpa air hanya oleh keiklasan hati”
g) Dasanama “lintang”
17) Kadya kartika katonton (p.68 Gambuh b.4)
“seperti bintang yang terlihat”
2. Purwakanthi Guru Swara
Purwakanthi guru swara sama dengan asonansi yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vocal yang sama.
Pembahasan dari purwakanthi guru lagu atau asonansi adalah sebagai berikut :
18) Amung aneng sajabaning daging kulup (p. Pangkur b.5)
“Hanya ada di luar daging kulup.”
19) Kalakone saka eneng ening eling. (p.61 Gambuh b.3)
“Terlaksana dari (berada) dalam ingatan.”
20) Dhihin raga cipta jiwa rasa kaki. (p.18 Gambuh b.3)
“Pertama raga cipta jiwa rasa kaki.” (p.48 Gambuh b.3)
21) Ngelmu iku kelakone kanti laku (p.33 Pocung b.1)
“Ilmu itu diperolehdengan pengorbanan.”
Pengulangan vokal a, e, dan u pada data nomor (25), (26), (27), dan (28) tersebut di atas berurutan dalam satu kalimat dan berada pada akhir kalimat.
22) Bangkit mingkat reh mungkut (p.12 Pangkur b.3)
“Dapat menarik dengan baik”
23) Yen ben umbar ambabar dadi rubeda
“Jika dibiarkan akan berubah menjadi perbedaan”
24) Ngiket ngrungket triloka lekere kakukut.(p.65 Gambuh b.2)
“Mengikat tiga perkara”
Pengulangan konsonan pada data 29 sampai dengan data 31 di atas mengalami perubahan vokal. Perubahan bunyi vokal ini bertujuan untuk menyesuaikan guru lagu dan guru wilangan tembang, serta memperindah karya sastra.
3. Purwakanthi Sastra
Purwakanthi sastra sama dengan majas aliterasi yaitu gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama.
Pembahasan dari purwakanthi sastra atau majas aliterasi adalah sebagai berikut:
25) Mamangan marta martani ( p. Sinom b.2)
’ Membangun rasa yang welas asih’
26) Meruhi marang kang momong ( p. 58 Gambuh b.5)
’ Mengerti kepada yang mengasuh’
27) Lelana laladan sepi ( p. 17 Sinom b.2)
’ Pergi ke tempat yang sepi’
28) Lekase lawan kas ( p. 33 Pocung b.2)
’ Dilakukan dengan kemauuan’
29) Pungguh panggah cegah dhahar lawan nendra ( p. 25 Sinom b.9)
’ Kencang lestari menahan makan dan tidur’
30) Parandene pari peksa mulang putra ( p.25 Sinom b.9)
’ Hanya untuk memberi ajaran kepada anak’
31) Sinuda saka sathithik ( p. 88 Kinanthi b. 4)
’ Dikurangi dari sedikit’
32) Tis tising tyas marsudi ( p. 17 Sinom b.5)
’ Lenging rasa yang utama’
33) Tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi ( p. 82 Gambuh b.3)
’ Tidak mendapatkan jika cacat apa yang terjadi’
34) Tata titi tumrah tumaruntun ( p. 53 Gambuh b.2)
’ tertata sampai selesai dengan urut’
35) Wisesa winisesa wus ( p. 14 Pangkur b.7)
‘ Baik dan baik akhirnya’
36) Wus wruh yen kawruhe nempil ( p. 95 Kinanthi b.2)
‘ Sudah tahu jika pengetahuannya meminjam’
37) Weruh warananing urip ( p. 86 Kinanthi b.2)
‘ Mengerti segala sesuatau bagi kehidupan’
38) Wantu wataking wawaton ( p. 49 Gambuh b. 2)
‘ Watak yang selalu ingin menang’
Perulangan konsonan pada data di atas perulangan konsonan yang berada dalam satu kalimat secara beruntun dan perulangan konsonan tersebut berada di depan kata, perulangan konsonan tersebut meliputi perulangan konsonan m pada kata mamangun ’membangun’ , marta ’rasa’ , dan martani ’welas asih’ ( kalimat 53), meruhi ’melihat’ , marang ’kepada’ , dan momong ’mengasuh’ (kalimat 54). Perulangan konsonan l pada kata lelana ’terlena’ , dan laladan ’dengan cara’(kalimat 55), lekase ’awalnya’ , dan lawan ’dengan’ (kalimat 56), perulangan konsonan p pada kata pungguh ’kencang’ dan panggah ’lestari’ (kalimat 57), kata parandene ’hanya’ , pari peksa ’memberi paksaan’ , dan putra ’anak’ (kalimat 58). Perulangan konsonan s pada kata sinuda ’berkurang’ , saka ’dari’ , dan sathithik ’sedikit’ (kalimat 59). Perulangan konsonan t pada kata tis- tising ’lenging’ dan tyas ’hati’ (kalimat 60), kata tuwas ’memperoleh’ dan tiwasa ’cacat’ (kalimat 61) kata tata, titi, dan tumaruntun ( kalimat 62). Perulangan konsonan w pada kata wisesa ’baik’ dan winisesa ’lebih baik’ ( kalimat 63), kata wus ’sudah’ , wruh ’mengerti’, warananing ’warna dari’ ( kalimat 65), kata wantu ’watak’ , wataking ’watak yang’, dan wawaton ’asal’ ( kalimat 66).
Perulangan konsonan m, l, p, t s, dan w pada data di atas merupakan suatu bentuk keindahan, dikatakan demikian karena perulangan konsonan tersebut secara berurutan berulang dan berada dalam satu kalimat selain itu perulangan tersebut terletak pada awal kata. Manfaat dari penggunaan perulangan tersebut adalah untuk membuat karya sastra tersebut terlihat indah dan membentuk suatu bentuk kepuitisan.
4. Purwakanthi Lumaksita
Purwakanthi lumaksita sama dengan gaya bahasa repetisi atau perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk membari tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Pembahasan dari gaya bahasa repetisi adalah sebagai berikut:
39) Nora uwus kareme anguwus uwus, uwuse tan ana...(p.45 Pocung b.1,2)
’ Tidak bermanfaat menyacat manfaat, manfaatnya tidak ada...’
40) Yen lumintu uga dadi laku, laku agung kang kagungan narpati..( p.58 Gambuh b.2,3)
’Jika terganti juga jadi laku, laku agung yang memiliki raja.....’
41) Gagare ngunggar kayun, tan kayungyun mring ayuning kayun....( p. 62 Gambuh b.1,2)
’Niatnya menyatakan kehendak, kehendak tanpa tercapai terhadap indahnya kehendak....’
42) Kono ana sajatining urup, yeku urup pangarep uriping budi...( p.Gambuh b. 2,3)
”Di situ ada sejatinya hidup, yaitu hidup di depan kehidupan budi...”
43) Salami mung awas eling, eling lukitaning alam.... ( p.38 Kinanthi b.2,3)
’ Selama hanya awas ingat, ingat utamanya alam....’
44) Tanpa tuwas tanpa kasil ( p. 89 Kinanthi b.2)
’ Tanpa usaha tanpa hasil’
45) Meloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali..... ( p.92 KinaNTHI B. 1,2)
”Ucapnya jika selalu berkata, berkata seperti hanya seorang wali”
46) Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib- gaib... ( p. 93 Kinanthi b. 1,2)
’ Kepandaiannya hanya sedikit, sedikitnya hanya kekosongan’
47) Aywa esak aywa serik (p. 96 Kinanthi b.6)
’ Juga sabar juga iri’
48) Iku den awas den emut ( p. 72 Kinanthi b.4)
’ Maka dari itu selalu hati- hati dan ingatlah’
Perulangan kata laku ’perbuatan’ , uwus ’manfaat’, eling ’ingat’, urup ’kehiduoan’, muluk ’tinggi’, dan wuwus ’sedikit’ merupakan jenis perulangan kata dari baris atau kalimat terakhir dan diulang kembali pada kata awal pada baris atau kalimat selanjutnya.perulangan kata kayun ’kehendak’ merupakan perulangan kata yang ada di akhir kalimat dan diulang kembali pada kalimat atau bait selanjutnya tetapi diulang juga pada akhir kalimat atau bait. Perulangan kata tanpa ’tanpa’ , aywa ’juga dan kata den ’dan’ merupakan perluangan kata yang diulang dalam satu kalimat dan berurutan, kata tersebut digunakan untuk menekankan makna. Penggunaan perulangan kata tersebut di atas digunakan untuk memperindah bentuk suatu karya sastra dan menimbulkan rasa kepuitisan dalam suatu karya sastra.
5. Gaya Bahasa Hiperbola
Gaya bahasa hiperbola adalah gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebih- lebihan dengan membesarkan suatu hal.
Pembahasab dari gaya bahsa hiperbola adalah sebagai berikut:
49) Sinuba sinungkarta ( p. 1 Pangkur b.4)
’ Yang diidam- idamkan’
50) Amung kandel kumandel marang ing takdir (p. 72 Gambuh b.3)
’ Hanya merasa percaya dengan adanya takdir’
51) Lalandhepe mingis- mingis ( p. 85 Kinanthi b.4)
’ Tajamnya sangat tajam’
52) Babak bundhas anemahi ( p.90 Kinanthi b.6)
’ Luka yang parah akhirnya’
Pada kalimat 49 sampai 52 merupakan majas hiperbola hal ini dikarenakan kalimat tersebut bermakna sangat menyangatkan, misal pada kalimat kata sinuba sudah bermakna diharapkan tetapi setelah ditambah dengan sinungkarta yang bermakna diharapkan maka kata pada kalimat tersebut bermakna menyangatkan untuk diharapkan menjadi sesuatu. Kalimat 78 kandel ’tebal’ sudah bermakna tebal tetapi dengan ditambah kata kumandel yang bermakna menyangatkan maka kata kandel kumandel bermakna menjadi sudah tebal menjadi semakin tebal. Kalimat 51 kata landhep bermakna tajam tetapi setelah ditambah dengan kata mingis- mingis maka bermakna sangat amat tajam. Kalimat 52 kata babak bermakna luka yang terbuka setelah ditambah dengan kata bundhas maka kata tersebut bermakna.
6. Gaya Bahasa Persamaan atau Simile
Gaya bahasa persamaan atau simile adalah gaya bahasa kiasan yang menyatakan sesuatu dengan kata-kata yang lain.
Pebahasan dari gaya bahasa personifikasi adalah sebagai berikut:
53) Sasadon ingadu manis (p.3 pangkur b.7)’berkata dengan cara yang halus
54) Nora mulur nalare ting saluwir ‘tidak nalar pikirannya ada dimana-mana’.
Kalimat 53 dan 85 mereupakan majas personifikasi karena kalimat tersebut bermakna perumppamaan. Misalnya kata manis (legi) biasanya digunakan untuk menyatakan manis, akan tetapi pada kalimat ini memiliki makna untuk menyatakan suatu hal yang halus.
B. Struktur Kebahasaan
7. Afiksasi
Afiks dalam morfologi dapa dibedakan menjadi empat macam antara lain :perfiks, infiks,sufiks dan konfiiks.pada penelitian ini sampel yang digunakan dalah afiks yang hanya menunjukkan keindakan saja.afiks yang digunakan meliputi prefiks {ka-}, perfiks{a(-N)-}dan {a-}, infiks {-in}, Infiks {-um}, konfiks {ka-an}, sufiks {-ing} dan {-ning}, dan sufiks {-ipun} dan {-nira}. Kejelasan afiks tersebut adalah sebagai berikut:
7.1. Prefiks {ka-}
Perfiks {ka-}berfungsi sebagai kata kerja pasif tindakan atau pasif keadaan.perfiks ini besifat terbuka dan frekuensinya tinggi.hal ini karena perfiks tersebut bisa bergabung dengan bermaam-macam.
Benuk dasar dan sering ditemukan dalam penelitian contohnya adalah sebagi berikut:
a. Katungkul sami’saling bersimpuh’ (p.23 sinom b.5)kata katungkul’bersimpuh = (ka+tungkul)
b. Yen kabul kabuka’jika terkabul terbuka’ p.1 pocung b.2 kabuka= (ka+buka)
7.2. Perfiks {a(N)-}dan {a-}
Prefiks {a-} yang diikuti nasal akan memiliki frekuensi tinggi misalnya berupa /n/./n/ dan /ng/,berfungsi sebagai pembentuk kata kerja aktif misalnya sebagai berikut:
a. Dumadya angratoni’menjadi mengratoni’ p.18 sinom b.5 kata angratoni’mengratoni’=(a(N)+kraton+i)
b. Kapati amarsudi’termenung mencari ilmu(p.sinom b.5) kata amarsudi’mencari ilmu=(a+marsudi)
7.3. Perfiks {sa-}
Perfiks {sa-} membentuk kata keterangan. Kata keterangan tersebut meliputi kata keterangan tentang waktu dan kata keterangan suatu ukuran.
a. Samengko ingsun tutur (p.48 Gambuh b.1)
“Sekarang Aku bertutur”
b. Sabarang tindhak-tandhuk (p.47 Gambuh b.1)
“satu wujud kelakuan”
7.4. Infiks {-in}
Membentuk kata kerja pasif yang linier karena kata kerja pasif ini banyak di temukan dalam setiap bait tembang macapat daam penelitian ini. Misalnya sebagai berikut :
a. Sinawung resmining kidung ‘ terdapat dalam keindahan nyanyian ‘( p. 1 pangkur b. 4) kata sinawung terdapat ‘ = ( sawung + in ).
b. Sinuba sinungkarta ‘ dielu-elu ‘ ( p.1 pangkur b. 9 ) kata sinuba ‘ dielu-elu) =( suba + in).
c. Jinejer neng wedhatama ‘ berjejer pada wedhatama ‘ ( p.2 pangkur b.1 ) kata jinejer ‘ berjejer ‘= ( jejer +in).
d. Sinamun ing samundana ‘berada dalam perbedaan ‘ (p.3 pangkur b.6) kata sinamun ‘berada’=( samun +in).
Jika disejajarkan dengan {di-} misal : disimpen ‘ disimpan’, disambi ‘dengan’, digawe ‘dibuat’, dilimput’ditutupi’, dan ditonton ‘ diihat’ dengan kata sinimpen ‘ disimpan’ ginawe ‘dibuat’ liniput ‘ ditutupi’, dan tinonton ‘dilihat’, kata-kat yang berinfiks {-in} lebih memiliki kelitereran yang tinggi atau lebih mengandung kata arkhais tinggi jika dibanding dengan kat yang mengunakan perfiks {di-}.
7.5. Infiks {-um}
Infiks ini bisa bergabung dengan afiks lain seperti { -ing}, {-e} bersama membentuk bentukan yang lebih besar. Misalnya sebagai berikut :
a. Anggung gumarunggung ngungan sadina-dina ‘kata-kata yng sombong menjadi ucapan sehari-hari’ (p.5 pangkur b.6) kata gumunggung’ sombong’= (gunggung +um)
b. Gumarenggeng anggereng anggung gumarunggung ‘ saling berbisik kata-kata saling bersautan’ (p.6 pangkur b.5) kata gumarenggeng ‘ berbisik’ = (garenggeng +um) dan kata gumarunggung’ saling bersautan’ (grunggung +um)
c. Sumenggah seseorang ‘sombong ucapannya’(p.8 pangkur b.4)kata sumenggah ‘ sombong’ =(senggah+um)
7.6. Konfiks {ka-an}
Konfiks {ka-an} merupakan penggabungan dua afiks secara serentak bergabung bersama-sama dengan bentuk dasar yang berfungsi sebagai pembentuk kata benda, misalnya sebagai berikut :
a. Karem ing reh kaprawiran ‘ senang dengan tingkah laku keprajuritan’ (p.8 pangkur b.6) kata kaprawiran ‘ keprajuritan’ = (ka+prawira+an ).
b. Kakarangan saking bangsaning gaib ‘ ditulis dari golongan gaib’ (p.9 pangkur b.2) kata kakarangan ‘ ditulis’ (ka+karang+an ).
c. Kaseselan hawa ’kemasukan hawa‘( p.47 pocung b.2) kata kaseselan ‘ kemasukan’ = (ka+ sesel+an)
7.7. Sufiks {-ing} dan {-ning}
Sufiks -ing dan –ning ini sering ditemukan dalam tiap bait tembang macapat sehingga sufiks ini lebih banyak ditemukan jika dibanding dengan afiks-afiks yang lain. Terdapat bentuk –ing jika bentuk dasarnya konsonan dan jika bentuk dasarnya berakhir vocal maka menggunakan –ning, misalnya sebagai berikut.
a. Agama ageming aji ‘agama yang menjadi pakaian raja’ (p.1 Pangkur b.7) kata ageming ‘pakaian’ ? (agem + ing)
b. Lan traping angganira ‘dan sesuai dengan badannya’ (p.10 Pangkur 4) kata traping ‘disesuaikan’ ? (trap + ing)
c. Kakarangan saking bangsaning gaib ‘dikarang dari golongan gaib’ (p.9 Pangkurb.2) kata bangsaning ‘mialnya’ ? (bangsa + ning)
d. Sudaning hawa lan napsu ‘berkurangnya hawa dan napsu’ (p.15 Sinom b.6) kata sudaning ‘kurang dari’ ? (suda + ning)
Disamping sufiks –ing dan –ning di atas juga terdapat bentuk sufiks –ing dan –ning yang disertai dengan afiks yang lain misalnya :
a. Amung aneng sajabaning daging kulup ‘hanya ada di luar daging kulup’ (p.9 Pangkur b.5) kata sajabaning ‘di luar dari’ ? (sa + jaba+ ning).
b. Lumeketing angga ‘tertempel di badan’ (p.40 Pocung b.2) kata lumeketing ‘tertempel’ ? (leket + um + ing)
c. Den ngaksama kasisispaning sesame ‘selalu waspada dari tersisip kepada sesama’ (p.74 gambuh b.3) kata kasisipaning ‘tersisip’ ? (ka + sisip + a + ning)
Jika disejajarkan dengan sufiks {e-/ne-} maka sufiks {–ing dan –ning} lebih bersifat arkhais bila dibandingkan dengan sufiks {e-/ne-} meski makna yang diperoleh adalah sama.
7.8. Sufiks {-ipun} dan {-nira}
Sufiks –nira tergolong arkhais yang berfungsi sebagai penanda genetif. Sedang sufiks –ipun berfungsi sebagai kata kerja. Misalnya sebagai berikut :
a. Socaning jiwangganira ‘ciri-ciri dari badan’ (p.8 Pangkur b.1) kata jiwangganira ‘jiwa dari’ ? (jiwa + angga + nira)
b. Lan traping angganira ‘dan tepat dari badan’ (p.10 Pangkur b.4) kata angganira ‘badan dari’ ? (angga + nira)
c. Tinelat labetanipun ‘dicontoh perlunya’ (p.21 sinom b.6) kata labetipun ‘perlunya’ ? (labet + ipun)
d. Iya ing sakarsanipun ‘ya juga kehendaknya’ (p.20 Sinom b.6) kata sakarsanipun ‘kehendaknya’ ? (sa + karsa + nipun)
8. Reduplikasi
Reduplikasi atau perulangan dalam bahasa Jawa dengan adanya dwi lingga “perulangan kata”, dwi purwa “ perulangan suku kata depan”, dwi wasana” perulangan suku kata belakang”, dan dwi lingga salin swara “ perulangan kata berubah bunyi “. Dalam penelitian ini yang banyak ditentukan adalah bentuk perulangan dwi lingga dan dwi lingga salin swara.
8.1. Dwi Lingga Salin Swara
Kata yang merupakan dwi lingga salin swara antara lain :
a. Mingkar-mingkuring angkara ‘ menghindari perbuatn buruk ( p.1 pangkur b.1 ) kata mingkar-mingkuring’ perkataan yang tidak sesuai.
b. Kinanthi b.4) kata pandak-pandaking ‘ tidak tahan’.
Disebut dwi lingga salin karena mengalami perubahan terutama Pandak-pandaking pambudi ‘ tidak tahan pambudi’ (p.84 pada perubahan bunti vocal misal pada kata kar menjadi kur, nyak menjadi nyuk, ndak menjadi nduk. Sufiks { -ing} digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan guru wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
8.2. Dwi Lingga Bentuk Asal
Kata yang termasuk dari dwi lingga bentuk asal antara lain :
a. lalana teka-teki ‘ terlena pada bertapa’ ( p.16 Sinom b. 15) kata teke-teki ‘bertapa’
b. lawas-lawas graita ‘bekas penglihatan’ (p.27 Sinom b.7) kata lawas-lawas ‘ bekas’
Disebut dwi lingga bentuk asal karena terjadi perulangan kata dasarnya atau bentuk dasarnya. Kata teki dan lawas merupakan bentuk dasarnya.
8.3. Dwi Lingga Tak Serempak
Kata yang merupakan dwi lingga tak serempak antara lain:
a. ngandhar-andhar angendhukur ‘ meluas membau’ ( p.4 Pangkur b.3) kata ngandhar-andhar ‘ membau ?(a(N)andhar-andhar).
b. marma dipun ngati-ati’ maka harus berhati-hati’ (p.89 Kinanthi b.4) kata ngati-ati’ hati-hati’ ? (a(N)ati-ati)
c. ngarep-arep urub arsa den kurebi ‘ mengharapkan hidupnya jika diikuti’ (p.52 Gambuh b.3) kata pangarep-arep ‘ mengharap’ ? (a(N) arep-arep).
Kata tersebut dwi lingga tak serempak karena unsur dasar yang pertama berprefiks N dan a(N) dan kata berikutnya adalah bentuk dasarnya. Prefiks N dan a(N) digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan gur wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
Kata lain yang disebut dwi lingga tak serempak antara lain :
a. Anggung gumarunggung ugungan sadina-dina’ selalu berusaha keras agar dipuji sehari-hari’ (p.5 Pangkur b.6) kata sedina-dina ‘sehari-hari’ ? sa+dina-dina
b. Marma ing sabisa-bisa’ oleh karena dalam sedapat-dapatnya’ (p.10 Pangkur b.1) kata sebisa-bisa’ sebisa-bisanya’? sa+bisa-bisa
Kata tersebut disebut bentuk dwi lingga tak serempak karena unsur pertama berprefiks {sa-} dan kata berikutnya merupakan bentuk kata dasarnya. Perfiks {sa-} digunakan selain untuk memperindah bentuk kata juga menyesuaikan guru wilangan dan guru lagu pada tembang macapat.
8.4. Perubahan Kata
Dalam tembang macapat sering ditemukan perubahan kata yang disebabkan karena adanya ketentuan dari tembang macapat yaitu dalam ketentuan guru wilangan “ jumlah suku kata dalam satu bait”. Perubahan kata yang dimaksud misalnya :
a. Mring tapaking tepa tulus ‘ kepada jejak keteladanan (p.11 Pangkur b.3) kata mring ‘ kepada’ ? ( marang+ing)
b. Nayakeng rat Gusti Rasul’ yang merajai seperti Gusti Rasul’ (p.22 Pangkur b.1) kata nayakeng ‘raja di’ ? ( nayaka+ing)
c. Sarat sareh saniskareng laku’ sarat sabar dalam menjalankan cipta’ (p.61 Gambuh b.2) kata saniskareng ‘ jalan dari’ ? (sanikara + ing )
C. Isi atau Kandungan Naskah
Isi naskah naskah Wedhatama Winardhi antaralain mengajarkan tentang budi pekerti luhur, pendidikan, keTuhanan dan kepemimpinan. Ajaran pokok budi luhur adalah untuk tidak henti-hentinya diresapi agar ajaran itu tetap melekat sampai usia lanjut. Hal ini tertuang dalam tembang Pangkur bait 2 yang berunyi sebagai berikut:
Jinejar neng wedhatama,
mrih tan kemba kerabenganing pambudi,
mangka nadyan tuwa pikun,
yen tan makani rasa,
yekti sepi asepa lir sepah samun,
samangsane pakumpulan,
gonyang-ganyung nglilingsemi.
Terjemahan:
Disajikan dalam Wedhatama,
Agar jangan kekurangan penertian,
Bahwa sebenarnya walau telah tua bangka,
jika tidak punya perasaan,
sebenarnya tanpa guna,
bagai sepah buangan,
bila dalam pertemuan,
sering bertindak salah dan memelukan.
Ditengah-tengah pergaulan jika seseorang tidak menggunakan rasa atau tenggang rasa maka ia akan tersisih dari pergaulan, ia tidak dapat menempatkan diri seolah-olah tidak ada orang lain dan ia tidak sadar bila dipehatikan orang lain disekitarnya.
Seseorang yang kurang peka terhadapa keadaan lingkungan sekitar siasanya suka menyendiri dan cenderung bersifat egois. Ia senang menyendiri dan tidak mau dikatakan bodoh. Bila seseorang yang bijak menanggapi orang yang bersifat seperti itu, ia akan tetap bersiakp arif. Cara berbicara atara orang bodoh dengan orang yang biajak sangat berbeda. Orang bodoh berbicara penuh dengan kesombongan dan isi pempicaraannya kadang tidak masuk akal. Sedangkan orang yang bijak dan pandai sesalu berbicara dengan manis, menyampaikan segala sesuatu dengan tidak cara meggurui dan tidak mengginkan pujian dari apa yang disampaikanya. Orang pandai selalu berusaha menutupi kebodohan si Dungu yang selalu memperlihatkan kebodohannya kepada orang lain. Hal ini tertang dalam tembang Pangkur bait 4,5,6 sebagai berikut :
Sipengung nora nglegewa,
sangsayarda denira cacariwis,
ngandar-andar angendhukur kandhane nora kaprah,
saya elok alangka longkanganipun,
si wasis waskitha ngalah,
ngalilingi marang si pinging.
Terjemanhan :
Si Dungu tidak menyadari,
bualannya semakin menjadi-jadi,
melantaur tidak karuan,
bicaranya yang hebat-hebat,
makin aneh dan tidak masuk akal,
si Pandai maklum da mengalah,
menutupi ulah si Bodoh.
Mangkono ngelmu kang nyata,
sanyatane mung weh reseping ati,
bungah ingaranan cubluk,
sukeng tyas yen denina,
nora kaya si punggung anggung gumunggung,
ugungan sadina-dina,
aja mangkono wong urip.
Terjemahan :
Demikianlah ilmu yang sejati,
Sebenarnya hanya menyenangkan hati,
Suka dianggap bodoh,
Gembira apabila dihina,
Tidak seperti si Dunguyang selalu sombong,
Ingin dipuji setiap hari,
Jangan demikianlah hidup dalam pergaulan.
Uripe sapisan rusak,
nora mular nalare ting saluwir,
kadi ta guwa kang sirung,
senerang ing maruta,
gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung,
pindha padhane si muda,
prandene paksa kumaki,
Terjemahan :
Hidup hanya sekali di dunia berantakan,
Tidak berkembang,
pikirannya tercabik-cabik (Picik),
ibarat gua gelap menyeramkan,
suara berkumandang keras sekali,
demikianlah anak muda jika picik pengethuannya,
namun demikian sombongnya minta ampun.
Ajaran selanjutnya adalah tentang kepemimpinan yang tercantum dalam tembang Sinom. Kita harus mencontoh Panembahan Senapati raja Mataram agar kita selalu dapat mengendalikan hawa nafsu. Pengendalian hawa nafsu dapat dilakukan dengan cara bertapa, puasa, dan pantang. Tutur kata kita harus sopan dan menjaga perasaan orang lain agar tidak menyakiti hati orang yang menjadi mitra tutur kita. Pada saat lenggang atau saat kita tidak memiliki kesibukan, kita harus selalu mawas diri agar segala kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuatnya di masa lal tidak di ulangi lagi. Bila kita dapat mengdalikan diri dan selalu berusaha untuk tetap di jalan Tuhan dan berusaha selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara-cara seperti yang dilakukan oleh Panembahan Senapati, maka kita akan hidup tentram dan makmur. Ajaran ini terdapat dalam tembang sebagai berikut:
Nuladha laku utama,
tumraping wong tanah jawi,
wong agung ing Ngeksiganda,
Panembahan Senopati,
kapati amersudi,
sudane hawa lan napsu,
pinesu tapa brata,
tanaping ing siang ratri,
amemangun karyanak tyasing sasana.
Terjemahan:
Contohlah tindak utama,
bagi kalangan rang Jawa (Indonesia),
orang besar di Ngeksiganda (Mataram),
yaitu Panembahan Senapati,
yang tekun,
mengurangi hawa nafsu,
dengan jalan prihatin (bertapa),
serta siang malam selalu menyenagkan orang lain (kasih sayang).
Samangsane pasamuan,
memangun marta martini,
sinambi ing saben mangsa,
kala-kalaning ngasepi,
lelana teka-teki,
nggayuh geyonganing kayun,
kayungyun heninging tyas,
sanityasa pinrihatin,
puguh panggah cegah dhahar lawan nendra.
Terjemahan:
Dalam setiap pertemuan,
Menciptakakn kebahagaan lahir batin dengan sifat tenang dan sabar,
Sementara itu pada setiap kesempatan,
Dikala tiada kesibukan,
mengembara bertapa,
mencapai cita-cita hati,
terpesona kan suasana yang syahdu,
senantiasa hati dibuat prihatin,
dengan berpegang teguh,
mencegah makan maupun tidur.
Saben mendra saking wisma,
lelana laladan sepi sepi,
ngingsep sepuking supana,
mrih pana pranawang kapti,
titising tyas marsudi,
mardawaning budaya tulus,
mesumeh kasudarman,
neng tepining jalanidni,
sruning brata kataman wahyu dyatmika.
Terjemahan:
Setiap pergi meninggalkan istana,
Berkelana ketempat yang sunyi,
Menghiruppelbagai tingkatan ilmu yang baik,
Agar jelas (tercapai) yang dituju.
Maksud hati mencapai,
Kelembutan hati yang utama,
memeras kemampuannya dalam hal menghayati cintakasih,
Ditepi samudra.
Dikarenankan kerasnya bertapa (iktiar) medapat anugerah Illahi.
Dalam mencari ilmu hendaknya sabar dan ketekunan agar memilki manfaat yang suci dan berguna. Ilmu dapat diperoleh dari lingkungan keluarga, sekolah ,dan masyarakat. Dalam tembang pocung bait 33 dijelaskan:
Ngelmu iku kalakone kanthi laku,
Lekase lawan kas,
Tegese kas nyantosani,
Setya budya pangekese dur angkara.
Terjamahan :
Ilmu itu diperoleh dengan pengorbanan
Dilakukan dengan kemauan
Artinya kemauan yang bermanfaat
Ketegasan iman dan budi menjauhkan dari godaan.
Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa tercapainya suatu kepandaian tidak dengan instan tetapi diperoleh dengan usaha keras dengan didasari rasa sabar, tekun dan ikhlas.
Kepandaian akan mengendalikan segala angkara yangdatang mengganggu. Hendaknya kita mampu menahan hawa nafsu yang ada di dalam diri kita. Pelajaran tentang pengendalian diri ini tercantum dalam bait 34 berikut:
Angkara gung
neng angga anggung gumulung
Gegolonganira,
Triloka lekere kongsi,
Yen den umbar ambabar dadi rubeda
Terjemahan:
Keangkaraan besar,
Berada dalam badan salig bergantian,
Golongannya,
Triloka artinya itu,
Jika dibiarkan akan berubah menjadi perbedaan.
Bersabar dalam menghadapi godaan yang menghadang dan mampu menahan segala sesuatu yang menghalangi dalam menapai suatu tujuan hidup “ilmu”. Segala godaan dan halangan hendaknya kita buang jauh dari hati kita. Seperti yang terantum dalam bait 36.
Taman limut,
Durgameng tyas kang weh limput,
Kerem ing karamat,
Karana karoban ing sih,
Sihing sukma ngrebda saardi gengira.
Terjemahan:
Tidak lupa,
Kepada marahnya hati yang membuat gelap,
Senang kerahmatan,
Karena kebanjiran cinta kasih,
Berasal dari sukma yang mengembara sebesar gunung.
Mencari ilmu tidak terbatas tempat, ruang, waktu dan umur. Sikap mau beusaha dan jagan merasa puas dengan apa yang kita capai serta jangan menyombongkan ilmu yang kita miliki kepada orang lain. Seperti yang terantum dalam bait 37 berikut.
yeku patut,
tinulad tulad tinurut,
sapituduhira,
aja kaya jaman mangkin,
keh para mudha mudhi rapal makna
Terjemahan:
Itu patut,
Dijadikan teladan,
Seperti itulah,
Jangan seperti jaman dulu
Banyak para muda mudi menghapal makna.
Kita tidak perlu menonjolkan kepandaian kita kepada orang lain sebab belum tentu kepandaian kita lebih dari orang lain. Menerima dan menghargai pendapat orang lain adalah hal yang utama. Seperti yang terantum dalam bait 38 berikut:
Durung pecus,
Kesusu kaselak besus,
Amaknani rapal,
Kaya sayid weton Mesir,
Pendhak-pendhak angendhak gunaning janma.
Terjemahan:
Belum bisa,
Tetapi tergesa-gesa,
Memberi makna mantra,
Seperti pelajar asal Mesir,
Selalu saja meremehkan kepandaian orang lain.
Mencari ilmu pada jaman sekarang memang sangat penting karena bila kita tidak memiliki kepandaian maka kita akan menjadi bodoh dan tidak dapat mengikuti perkembangan jaman yang semakin maju. Namun juga harus diingat bahwa perkembangan jaman jangan sampai membuat kita terlalu larut dan terlena hingga kita lupa dengan tujuan hidup kita. Seperti yang termuat dalam bait 42 berikut:
Basa ngelmu,
Mupangate lan panemu,
Pasahe lan tapa,
Yen satriya tanah Jawi,
Kuna-kuna kang ginilit tri prakara.
Terjemahan:
Yang namanya ilmu,
Cocoknya dengan pendapat,
Berhasilnya dengan bertapa,
Bagi satriya Jawa,
Dahulu kala yang menjadi pegangan tiga hal.
Penerapan ilmu pengetahuan sebaiknya diselaraskan dengan hasil penelitian dan pengamatan selanjutnya hasil tersebut perlu dianalisis agar langkah kita tidak salah. 3 sifat dalam tembang pucung tersebut yang perlu kita miliki, yaitu:
• Rela yaitu tidak menyesal bila kehilangan atau memberi sesuatu.
• Tabah dan sabar bila kita dituduh atau dicurigai sesama manusia.
• Tawakal yaitu berpasrah diri kepada Tuhan bila kita sudah tidak mampu menghadapi dan menyelesaikan masalah meskipun kita sudah berusaha menyelesaikannya.
Ajaran tentang keTuhanan atau agama terletak pada pupuh gambuh. Ajaran tentang menyembah kepada Tuhan. Sembah ada empat macam yaitu sembah raga, sembah jiwa, sembah rasa, sembah kalbu.
Pada bait ke 49 dijelaskan tentang pengertian sembah raga yang mengibaratkan bahwa langkah permulaan dalam pencapaian kemuliaan. Tujuan pokok dari sembah raga adalah untuk memaksa dan membiasakan diri untuk diam dan hening “bersemedi” bagi umat islam dengan menjalankan sholat lima waktu
Sembah raga puniku
Pakartine wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang waktu
Wantu wataking wawaton
Terjemahan
Sembah raga puniku
Pakartine wong amagang laku
Sesucine asarana saking warih
Kang wus lumrah limang waktu
Wantu wataking wawaton
Kemudian pada bait ke 58 dijelaskan tentang sembah cipta atau kalbu, sembahnya angan-angan luhur untuk mendekatkan diri kepada tuhan, tujuan dari sembah cipta adalah untuk membuat sucinya kalbu, maka cara membersihkannya tidak dengan air melainkan dengan kehendak yang teratur dan terbiasa.
Samengko sembah kalbu
Yen lumintu uga dadi laku
Laku agung kang kagungan Narpati
Patitis tetesing kawruh
Meruhi marang kang momong
Terjemahan
Sekarang sembah kalbu
Jika terganti juga menjadi perbuatan
Perbuatan agung yang memiliki adalah Raja
Yang telah ditetesi ilmu
Dan menemui yang mengasuh
Bila melaksanakan sembah kalbu denagn benar maka dapat melihat yang benar, menuju kenyataan, hilang semua hal yang telah menghalang-halangi pandangan batiniah dan lahiriah, sebaliknya jika sembah cipta itu batal atau tidak dijalankan dengan baik, maka akan menimbulkan rasa sombong, selalu minta dipuji dan dihormati. Maka harus selalu ingat dan waspada tentang hokum sebab akibat dari perbuatannya sendiri.
Pada bait ke 65 dijelaskan tentang tatacara dari sembah jiwa adalah dengan mengkonsentrasikan ingatan atau pikiran dan rasa yang datang dari lubuk hati tertuju kepada tuhan dan percaya akan kuasa-Nya.
Ruktine nyangkah agungkut
Ngiket ngrungkut triloka lekere kakukut
Jagad agung
Ginulung lan jagad alit
Den kandel kumandel kulup
Mring kelaping alam kono
Terjemahan
Kehormatannya mengangkat
Mengikat tiga perkara
Dunia yang agung
Digulung dan dunia kecil
Dengan kekuatan kehendak
Terhadap kilaunya alam itu
Dan yang terakhir dalam pencapaian kemuliaan tuhan adalah sembah rasa yaitu sembah dari rasa manusia yang tidak dapat diperlihatkan bentuknya kecuali dengan daya kekuatan, dalam fase ini manusia telah mencapai manunggal “ mati atau bersatu dengan Tuhan”
Kandungan tentang budi pekerti dicantumkan dalam tembang pangkur karena meskipun usia kita telah lanjut budi pekerti yang luhur harus kita miliki agar dapat kita jadikan sebagai pedoman dan pegangan hidup.
Kandungan tentang kepemimpinan, Mangkunegara menggunakan tembang sinom karena dimaksudkan agar para muda meniru teladan dari Panembahan Senopati yang memiliki jiwa kepemimpinan yang patut untuk diteladani.
Kandungan tentang ilmu Mangkunagara cantumkan dalam tembang pocung karena ilmu dan pengetahuan tidak kenal usia, pendidikan dapat diperoleh dan dicari tanpa memandang batas usia. Hal ini disesuaikan dengan falsafah tembang pocung yaitu masa manusia itu mati dan kemudian dipocong yang mencerminkan bahwa mencari ilmu itu tidak akan berhenti sampai manusia itu mati.
Kandungan tentang keTuhanan atau agama terletak pada pupuh Gambuh, karena dapat diartikan sesuai dengan falsafah tembang macapat bahwa gambuh adalah masa tua yang perlu untuk menyempurnakan agama sebagai bekal bila manusia mati.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab II sebelumnya, maka kesimpulan yang dapat kita ambil antara lain :
1. Diksi atau pilihan kata yang ditemukan dalam naskah Serat Wedhatama Winardi antara lain : dasanama, purwakanthi guru swara, purwakanthi sastra, purwakanthi lumaksita. Sedangakan gaya bahasa yang ditemukan hiperbola, simile dan personifikasi.
2. Struktur kebahasaan yang ada dalam naskah ini antara lain : Afiksasi {ka-}, {a-}, {a(N)-}, {a-}, {-in-}, {-um-}, {ka-an}, {ing}, {ning}, {-ipun} dan {-nira} serta reduplikasi.
3. Isi dari naskah serat Wedhatama Winardi adalah ajaran hidup serta budi pekerti luhur untuk masyarakat Jawa khususnya dan manusia pada umumnya meliputi pendidikan, ke-Tuhanan dan kepemimpinan yang tertuang dalam bentuk tembang mocopat.
DAFTAR PUSTAKA
Nuning Peni Wardani (C0104023). 2004. Skripsi Kajian Stilistika Serat Wedhatama Winardi Karya Mangkunagara IV. Fakultas Sastra dan Seni Rupa: Universitas Sebelas Maret Surakarta
Untuk versi original dari makalah Sastra Daerah diatas, silakan Sobat (klik disini) untuk menyimpannya di kompi/laptop Sobat, filetype:doc
Itulah tadi posting tentang Contoh Makalah Sastra Daerah. semoga bermanfaat
1 komentar:
artikel yang sangat menarik dan membantu