Berikut ini adalah posting tentang Contoh Makalah Bahasa Inggris yang membahas tentang Unsur Penting Pada Pembelajaran Bahasa Inggris Anak disusun oleh Dra. ELA NURLAELA. sebelumnya "Contoh Makalah Bahasa Indonesia"
UNSUR PENTING PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS ANAK
MAKALAH
Disusun dalam rangka pengembangan profesi keguruan
Oleh: Dra. ELA NURLAELA
NIP. 131 832 596
Disahkan oleh,
Kepala SMAN 2 Majalengka
W. ALI WARDOYO, S.Pd
NIP : 130 680 596
PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA DINAS PENDIDIKAN UPTD SMAN 2 MAJALENGKA
Februari, 2007
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan limpahan taufik dan hidayahnya, shalawat dan salam tercurah atas junjunan kita Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan umatnya sampai yaumil akhir.
Akhirnya penulis telah selesai membuat suatu makalah dengan judul “Unsur penting pada pembelajaran bahasa inggris anak didik” sebagai salah satu upaya yang dilakukan guna mengembangkan profesi keguruan.
Kritik dan saran senantiasa penulis tampung demi menunjang literature yang berhubungan dengan isi penulisan. Akhir kata, hanya kepada Allah jualah kita berserah, semoga penulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan secara umum dan khususnya pada pembelajaran bahasa.
A. Keterlibatan Siswa secara Aktif
Dalam proses belajar mengajar selalu ada proses keterlibatan didalam kelas. Keterlibatan adalah sebuah perhatian penuh dari siswa dan partsipasi aktif mereka dalam setiap aktifitas kelas (Squires, et al. (1987:10). Keterlibatan tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar adalah sebuah cara untuk menciptakan kondisi belajar yang kondusif.
Keterlibatan merupakan hal yang harus ada dalam proses belajar mengajar. Tanpa keterlibatan, proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Seperti dikemukakan oleh Colier, et al (1967:172) bahwa belajar adalah hasil dari keterlibatan secara aktif dari emosi siswa seperti hal nya ketrlibatan intelektualits dalam proses belajar mengajar dan siswa akan belajar dengan baik dalam situasi dimana mereka ambil bagian dalam proses belajar mengajar.
Keterlibatan menurut Squires, (1987:10) adalah jumlah dari waktu yang diluangkan siswa untuk belajar suatu subjek tertentu. Dalam hal ini keterlibatan mempunyai dua aspek yaitu seberapa banyak waktu yang disediakan oleh guru dan seberapa besar usaha yang dialkukan siswa selama waktu yang diberikan tersebut. Dengan kata lain, keterlibatan juga diartikan sebagai perhatian total siswa dan partisipasi aktif mereka dalam setiap kegiatan di kelas.
Suasana belajar yang kondusif dapat terjadi pada saat para siswa, sebagi pembelajar, dapat terlibat dalam setiap aktifitas mengajar di kelas. Dengan keterlibatan mereka di dalam kelas, mereka akan merasa bahwa keberadaan mereka sangat penting dan dihargai. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri bagi mereka untuk mengikuti proses pembelajaran selanjutnya.
Selain itu para siswa juga akan memiliki kemauan yang tinggi dalam belajar yang akhirnya akan membawa perhatian mereka sepenuhnya pada proses belajar mengajar di kelas. Seperti yang dikemukakan oleh Yelon dan Weinstein (1997:295) bahwa motivasi sangat mempengaruhi tingkat belajar dan tingkah laku dari para siswa. Perhatian mereka terhadap mata pelajaran yang diajarkan di kelas akan meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.
Para siswa akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika mereka mempunyai kemauan dan perhatian yang kuat dalam belajar. Krashen dalam bukunya Hammer (1991:33-34) menyatakan bahwa proses belajar bahasa asing haruslah seperti proses acquisition pada bahasa aslinya. Para siswa pembelajar bahasa asing perlu untuk mendengar dan mempunyai pengalaman sebanyak mungkin dalam situasi diaman mereka terliabt dalam komunikasi dengan orang dewasa yang lebih tau banyak tentang bahasa.
Piaget dalam Hudelson (1991: 256-257) menyatakan bahwa anak pada tingkat usia sekolah biasanya menggunakan wujud dari tingkat operasional dari perkembangan kognitif. Hal ini berarti bahwa anak-anak belajar dengan memanipulasi pengalaman apa yang mereka dapatkan. Anak - anak harus aktif didalam kelas dan ambil bagian dalam task dan setiap kegiatan dalam proses pembelajaran.
B. Memahami Kesenjangan Pembelajaran
Salah satu masalah dalam belajar bahasa adalah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Hal ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Grabe (1986) bahwa problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pada situasi seperti ini maka penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan bahan ajar yang fungsional memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa terutama bahasa asing.
Oleh karena itu pemakaian materi otentik (authentic-materials) akan sangat membantu pembelajar, terutama bagi mereka yang belum mengenal bahasa target sama sekali. Pemakaian materi ajar yang otentik tentu harus disertai dengan pendekatan komunikatif integratif karena hal ini juga akan membangkitkan minat pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar terhadap subyek yang sedang dipelajarinya.
Salah satu bagian yang sering terlupakan dalam pengajaran komponen budaya Indonesia. Pembelajar sering mengalami benturan budaya ketika mereka masuk ke dalam situasi budaya ini. Masalah ini dapat dijembatani dengan cara menggunakan materi otentik yang bermuatan budaya Indonesia sebagai bahan ajar. Materi otentik dapat diambil dari surat kabar, rekaman berita televisi tentang berbagai kejadian di Indonesia, program radio, daftar menu rumah makan, iklan dsb.
Dengan berbekal materi tersebut diharapkan kesadaran pembelajar bahasa tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Membuat definisi budaya Indonesia merupakan hal yang sangat sulit karena banyak yang beranggapan bahwa budaya Indonesia itu tidak ada. Yang ada adalah budaya masing-masing suku di Indonesia. Namun marilah kita tidak usah susah payah mendefinisikan budaya Indonesia ini. Yang kita lihat di sini adalah jalan pemikiran serta tata cara hidup orang-orang di Indonesia yang akhirnya membentuk terminologi 'budaya Indonesia'. Sementara itu banyak juga yang berpendapat bahwa budaya itu tidak dapat diajarkan, jadi mengapa kita perlu membahas komponen budaya dalam pengajaran bahasa? Barangkali untuk lebih tepatnya adalah kita berupaya menanamkan kesadaran budaya Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia.
Pada kenyataannya kesadaran pembelajar bahasa tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Salah satu contoh klasik yang sangat sering dipakai adalah pertanyaan-pertanyaan: “mau kemana?, dari mana?, anaknya berapa?, gajinya berapa?, sudah menikah?, kok belum menikah?” yang sering menyebabkan pembelajar terheran-heran dengan keingintahuan orang Indonesia terhadap urusan orang lain.
Beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia dianggap melampaui batas kewajaran oleh pembelajar bahasa, yaitu: “wah gemuk sekali” dan “anaknya lucu ya” yang berati positif di Indonesia namun memuat konotasi negatif dalam konsep budaya barat. Pertanyaan-pertanyaan pada kelompok pertama dan ungkapan-ungkapa pujian pada kelompok kedua tentu saja harus dipahami sebagai komponen fungsi bahasa yang harus dijelaskan dalam konteks budaya dan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa si pembelajar begitu saja.
Seringnya ditemui keluhan tentang betapa inginnya orang Indonesia mencampuri urusan orang lain dalam konteks komunikasi menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan betapa minimnya pembahasan
komponen budaya dalam bahas. Dalam contoh tersebut di atas, seperti yang tersirat dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada murid, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana guru bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran bahasa dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi otentik (authentic materials).
Silabus dan kurikulum bahasa perlu mencantumkan komponen budaya ini untuk melengkapi pengajaran bahasa. Pada sisi lain pengajar juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya Indonesia. Apa yang ingin diajarkan lewat komponen budaya tergantung bukan saja pada kurikulum dan silabus bahasa yang diciptakan atau diadopsi oleh pengajar. Komponen itu harus mengacu pada kepentingan pembelajar dalam mempelajari bahasa asing.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan bahwa kesadaran tentang budaya Indonesia ini bukan hanya melingkupi apa yang dapat dilihat dengan jelas (tarian, drama, adat istiadat, praktek-praktek keagamaan), namun hal tersebut juga mencakup permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa.
Dalam konteks yang lebih luas yaitu konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala, bahasa tubuh dsb. memerlukan pembahasan yang lebih luas dan dijelaskan tersendiri (tidak bisa disisipkan dalam catatan budaya). Dalam hal ini komponen yang akan diajarkan/dibahas dipilih sesuai kebutuhan pembelajar
C. Penerapan Metodik
Mengajar bahasa inggris pada anak membutuhkan cara dan metode khusus. Yang dikemukakan oleh Lado (1964:57) bahwa anak-anak sekolah dasar membutuhkan tehnik khusus. Anak cenderung lebih aktif karena mereka belajar sambil bertingkahlaku. Cara bagaimana mereka belajar bahasa inggrisberbeda dari orang dewasa karena setiap anak mempunyai karakteristik tersendiri.
Pengajaran pada anak dan pada orang dewasa sangat berbeda Abe (1991: 266-267). Abe juga memberikan tehnik-tehnik dasar bagaimana mengajar bahasa inggris untuk anak. Untuk membuat suasana kelas menjadi lebih hidup, seorang guru harus membawa objek yang beragam dan nyata. Dengan menggunakan objek yang nyata siswa dibiarkan untuk bereksperimen sendiri dalam menggunakan bahasa. Sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan dunia disekitarnya dan belajar dari pengalaman yang telah mereka dapat untuk menjadi lebih baik.
Vale dan Feunteun (1995:27-28) menyatakan bahwa prioritas guru dalam kelas adalah untuk membangun hubungan kerja yang baik dengan anak dan untuk mendorong mereka untuk menjadi sama dengan teman mereka. dalam hal ini peran guru adalah sebagai guru, orang tua, teman dan motivator.
Motivasi sangat mempengaruhi tingkat belajar dan tingkah laku dari para siswa (Yelon dan Weinstein, 1997:295). Oleh karena itulah keterlibatan tidak dapat dipisahkan dari motivasi para siswa dalm proses belajar mengajar. Dari kondisi seperti inilah, secara otomatis siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari kegiatan membaca paling rendah bila dibandingkan dengan kegiatan yang lain, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, kegiatan pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat juga mencakup kagiatan mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis kegiatan diintegrasikan dalam sebuah kegiatan, yaitu melalui pelajaran membaca.
Kegiatan mendengar ada dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan pengajar dan pembelajar lain ketika berinteraksi di dalam kelas, sedangkan kegiatan berbicara direalisasikan pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan kegiatan menulis dilakukan pada saat pembelajar mengerjakan tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok.
Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu :
1) Prabacaan (pre-reading)
Pada tahap prabacaan pengajar memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai dasar dari keseluruhan pelajaran membaca. Hal ini berarti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini bila yang bersangkutan tidak dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca.
Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, pengajar mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini pengajar menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar.
Pada tahapan ini pengajar memiliki peran yang sangat penting dalam memotivasi pembelajar agar mereka terlibat secara aktif. Perlu diingat bahwa pada tahap prabacaan ini pengajar belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, pengajar mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang akan digunakan dalam memahami isi teks.
Contoh:
- Koran apa yang dibaca tiap hari?
- Berita apa yang pertama dicari?
- Apakah suka membaca rubrik editorial kartun?
- Pesan apa yang biasanya ingin disampaikan di dalamnya?
Kalau pembelajar memberikan respon yang positif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, pengajar dapat langsung membagikan contoh kartun dan bersiap-siap untuk mendiskusikannya. Sebaliknya bila pembelajar memberikan respon yang negatif, pengajar dapat menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terstruktur untuk memahami teks dalam kartun tersebut sebelum meminta pembelajar untuk mendiskusikannya.
2) Bacaan (whilst-reading)
Kegiatan membaca dimulai ketika pengajar sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada pengajar. Pengajar menjelaskan makna kata dan langsung memberikan sinonimnya agar penguasaan kosakata pembelajar bertambah.
Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok tersebut pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks.
Setelah diskusi selesai pengajar mengecek pemahaman pembelajar dengan bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk bermain peran (role play) mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang anggota DPR, atau percakapan antara pelayan toko dan pembeli.
Contoh : Pengajar menjelaskan tentang arti kata sungkan dan budaya sungkan yang ada di lingkungan sekitar (di Indonesia).
3) Pascabacaan (post-reading)
Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Jadi para pembelajar diberi pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Pekerjaan rumah para pembelajar dari tahapan pascabacaan ini harus diperiksa oleh pengajar hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar.
Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi pengajar menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu terkait materi yang ada.
Contoh :
- Pembelajar diberi tugas untuk membaca kartun lain dari mass media yang disukai
- Pembelajar diminta untuk menuliskan pemahamannya atas kartun terkait dalam sebuah paragraf
- Pembelajar mengumpulkan tugas tersebut pada pertemuan berikutnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pendekatan komunikatif integratif merupakan pilihan yang sesuai bila ingin menggunakan materi otentik dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Unsur budaya dan bahasa adalah dua hal yang perlu diperkenalkan sedini mungkin kepada pembelajar.
Dengan menggunakan bahan ajar yang fungsional yaitu bahan ajar yang bersumber dari materi otentik, pembelajar akan memperoleh kemudahan untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya. Pembelajar dapat lebih memahami kebermaknaan materi yang dipelajarinya karena mereka mengalaminya langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pengajar dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan bahan ajarnya, lebih terstruktur dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran di kelas, lebih optimal dalam memotivasi pembelajar, dan lebih memperhatikan setiap kesulitan maupun keberhasilan pembelajar. Hal ini mutlak untuk dicermati oleh setiap pengajar agar dapat lebih meningkatkan keberhasilan pengajaran bahasa di seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
UNSUR PENTING PADA PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS ANAK
MAKALAH
Disusun dalam rangka pengembangan profesi keguruan
Oleh: Dra. ELA NURLAELA
NIP. 131 832 596
Disahkan oleh,
Kepala SMAN 2 Majalengka
W. ALI WARDOYO, S.Pd
NIP : 130 680 596
PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA DINAS PENDIDIKAN UPTD SMAN 2 MAJALENGKA
Februari, 2007
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi yang telah memberikan limpahan taufik dan hidayahnya, shalawat dan salam tercurah atas junjunan kita Muhammad SAW, keluarganya, para sahabatnya dan umatnya sampai yaumil akhir.
Akhirnya penulis telah selesai membuat suatu makalah dengan judul “Unsur penting pada pembelajaran bahasa inggris anak didik” sebagai salah satu upaya yang dilakukan guna mengembangkan profesi keguruan.
Kritik dan saran senantiasa penulis tampung demi menunjang literature yang berhubungan dengan isi penulisan. Akhir kata, hanya kepada Allah jualah kita berserah, semoga penulisan ini bermanfaat bagi dunia pendidikan secara umum dan khususnya pada pembelajaran bahasa.
Majalengka, Februari 2007
Penulis
A. Keterlibatan Siswa secara Aktif
Dalam proses belajar mengajar selalu ada proses keterlibatan didalam kelas. Keterlibatan adalah sebuah perhatian penuh dari siswa dan partsipasi aktif mereka dalam setiap aktifitas kelas (Squires, et al. (1987:10). Keterlibatan tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Melibatkan siswa dalam proses belajar mengajar adalah sebuah cara untuk menciptakan kondisi belajar yang kondusif.
Keterlibatan merupakan hal yang harus ada dalam proses belajar mengajar. Tanpa keterlibatan, proses belajar mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Seperti dikemukakan oleh Colier, et al (1967:172) bahwa belajar adalah hasil dari keterlibatan secara aktif dari emosi siswa seperti hal nya ketrlibatan intelektualits dalam proses belajar mengajar dan siswa akan belajar dengan baik dalam situasi dimana mereka ambil bagian dalam proses belajar mengajar.
Keterlibatan menurut Squires, (1987:10) adalah jumlah dari waktu yang diluangkan siswa untuk belajar suatu subjek tertentu. Dalam hal ini keterlibatan mempunyai dua aspek yaitu seberapa banyak waktu yang disediakan oleh guru dan seberapa besar usaha yang dialkukan siswa selama waktu yang diberikan tersebut. Dengan kata lain, keterlibatan juga diartikan sebagai perhatian total siswa dan partisipasi aktif mereka dalam setiap kegiatan di kelas.
Suasana belajar yang kondusif dapat terjadi pada saat para siswa, sebagi pembelajar, dapat terlibat dalam setiap aktifitas mengajar di kelas. Dengan keterlibatan mereka di dalam kelas, mereka akan merasa bahwa keberadaan mereka sangat penting dan dihargai. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri bagi mereka untuk mengikuti proses pembelajaran selanjutnya.
Selain itu para siswa juga akan memiliki kemauan yang tinggi dalam belajar yang akhirnya akan membawa perhatian mereka sepenuhnya pada proses belajar mengajar di kelas. Seperti yang dikemukakan oleh Yelon dan Weinstein (1997:295) bahwa motivasi sangat mempengaruhi tingkat belajar dan tingkah laku dari para siswa. Perhatian mereka terhadap mata pelajaran yang diajarkan di kelas akan meningkatkan kualitas pembelajaran mereka.
Para siswa akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika mereka mempunyai kemauan dan perhatian yang kuat dalam belajar. Krashen dalam bukunya Hammer (1991:33-34) menyatakan bahwa proses belajar bahasa asing haruslah seperti proses acquisition pada bahasa aslinya. Para siswa pembelajar bahasa asing perlu untuk mendengar dan mempunyai pengalaman sebanyak mungkin dalam situasi diaman mereka terliabt dalam komunikasi dengan orang dewasa yang lebih tau banyak tentang bahasa.
Piaget dalam Hudelson (1991: 256-257) menyatakan bahwa anak pada tingkat usia sekolah biasanya menggunakan wujud dari tingkat operasional dari perkembangan kognitif. Hal ini berarti bahwa anak-anak belajar dengan memanipulasi pengalaman apa yang mereka dapatkan. Anak - anak harus aktif didalam kelas dan ambil bagian dalam task dan setiap kegiatan dalam proses pembelajaran.
B. Memahami Kesenjangan Pembelajaran
Salah satu masalah dalam belajar bahasa adalah adanya kesenjangan antara bahasa pertama dan bahasa target yang akan dipelajari. Hal ini sering terjadi karena kurangnya pengetahuan bahasa target oleh pembelajar bahasa asing. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin jauh kesenjangan itu, semakin sulit proses pembelajarannya; dan semakin dekat kesenjangan itu, semakin mudah proses pembelajarannya.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Grabe (1986) bahwa problem belajar bahasa asing muncul sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan linguistis dan sosiokultural dari bahasa pertama dan bahasa target. Pada situasi seperti ini maka penggunaan pendekatan yang tepat dan pemilihan bahan ajar yang fungsional memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan proses pembelajaran bahasa terutama bahasa asing.
Oleh karena itu pemakaian materi otentik (authentic-materials) akan sangat membantu pembelajar, terutama bagi mereka yang belum mengenal bahasa target sama sekali. Pemakaian materi ajar yang otentik tentu harus disertai dengan pendekatan komunikatif integratif karena hal ini juga akan membangkitkan minat pembelajar dan memelihara keterlibatan pembelajar terhadap subyek yang sedang dipelajarinya.
Salah satu bagian yang sering terlupakan dalam pengajaran komponen budaya Indonesia. Pembelajar sering mengalami benturan budaya ketika mereka masuk ke dalam situasi budaya ini. Masalah ini dapat dijembatani dengan cara menggunakan materi otentik yang bermuatan budaya Indonesia sebagai bahan ajar. Materi otentik dapat diambil dari surat kabar, rekaman berita televisi tentang berbagai kejadian di Indonesia, program radio, daftar menu rumah makan, iklan dsb.
Dengan berbekal materi tersebut diharapkan kesadaran pembelajar bahasa tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Membuat definisi budaya Indonesia merupakan hal yang sangat sulit karena banyak yang beranggapan bahwa budaya Indonesia itu tidak ada. Yang ada adalah budaya masing-masing suku di Indonesia. Namun marilah kita tidak usah susah payah mendefinisikan budaya Indonesia ini. Yang kita lihat di sini adalah jalan pemikiran serta tata cara hidup orang-orang di Indonesia yang akhirnya membentuk terminologi 'budaya Indonesia'. Sementara itu banyak juga yang berpendapat bahwa budaya itu tidak dapat diajarkan, jadi mengapa kita perlu membahas komponen budaya dalam pengajaran bahasa? Barangkali untuk lebih tepatnya adalah kita berupaya menanamkan kesadaran budaya Indonesia yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia.
Pada kenyataannya kesadaran pembelajar bahasa tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Salah satu contoh klasik yang sangat sering dipakai adalah pertanyaan-pertanyaan: “mau kemana?, dari mana?, anaknya berapa?, gajinya berapa?, sudah menikah?, kok belum menikah?” yang sering menyebabkan pembelajar terheran-heran dengan keingintahuan orang Indonesia terhadap urusan orang lain.
Beberapa ungkapan dalam bahasa Indonesia dianggap melampaui batas kewajaran oleh pembelajar bahasa, yaitu: “wah gemuk sekali” dan “anaknya lucu ya” yang berati positif di Indonesia namun memuat konotasi negatif dalam konsep budaya barat. Pertanyaan-pertanyaan pada kelompok pertama dan ungkapan-ungkapa pujian pada kelompok kedua tentu saja harus dipahami sebagai komponen fungsi bahasa yang harus dijelaskan dalam konteks budaya dan tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa si pembelajar begitu saja.
Seringnya ditemui keluhan tentang betapa inginnya orang Indonesia mencampuri urusan orang lain dalam konteks komunikasi menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan betapa minimnya pembahasan
komponen budaya dalam bahas. Dalam contoh tersebut di atas, seperti yang tersirat dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada murid, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana guru bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran bahasa dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi otentik (authentic materials).
Silabus dan kurikulum bahasa perlu mencantumkan komponen budaya ini untuk melengkapi pengajaran bahasa. Pada sisi lain pengajar juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya Indonesia. Apa yang ingin diajarkan lewat komponen budaya tergantung bukan saja pada kurikulum dan silabus bahasa yang diciptakan atau diadopsi oleh pengajar. Komponen itu harus mengacu pada kepentingan pembelajar dalam mempelajari bahasa asing.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan bahwa kesadaran tentang budaya Indonesia ini bukan hanya melingkupi apa yang dapat dilihat dengan jelas (tarian, drama, adat istiadat, praktek-praktek keagamaan), namun hal tersebut juga mencakup permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian, meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa.
Dalam konteks yang lebih luas yaitu konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala, bahasa tubuh dsb. memerlukan pembahasan yang lebih luas dan dijelaskan tersendiri (tidak bisa disisipkan dalam catatan budaya). Dalam hal ini komponen yang akan diajarkan/dibahas dipilih sesuai kebutuhan pembelajar
C. Penerapan Metodik
Mengajar bahasa inggris pada anak membutuhkan cara dan metode khusus. Yang dikemukakan oleh Lado (1964:57) bahwa anak-anak sekolah dasar membutuhkan tehnik khusus. Anak cenderung lebih aktif karena mereka belajar sambil bertingkahlaku. Cara bagaimana mereka belajar bahasa inggrisberbeda dari orang dewasa karena setiap anak mempunyai karakteristik tersendiri.
Pengajaran pada anak dan pada orang dewasa sangat berbeda Abe (1991: 266-267). Abe juga memberikan tehnik-tehnik dasar bagaimana mengajar bahasa inggris untuk anak. Untuk membuat suasana kelas menjadi lebih hidup, seorang guru harus membawa objek yang beragam dan nyata. Dengan menggunakan objek yang nyata siswa dibiarkan untuk bereksperimen sendiri dalam menggunakan bahasa. Sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan dunia disekitarnya dan belajar dari pengalaman yang telah mereka dapat untuk menjadi lebih baik.
Vale dan Feunteun (1995:27-28) menyatakan bahwa prioritas guru dalam kelas adalah untuk membangun hubungan kerja yang baik dengan anak dan untuk mendorong mereka untuk menjadi sama dengan teman mereka. dalam hal ini peran guru adalah sebagai guru, orang tua, teman dan motivator.
Motivasi sangat mempengaruhi tingkat belajar dan tingkah laku dari para siswa (Yelon dan Weinstein, 1997:295). Oleh karena itulah keterlibatan tidak dapat dipisahkan dari motivasi para siswa dalm proses belajar mengajar. Dari kondisi seperti inilah, secara otomatis siswa terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan asumsi bahwa retensi yang dihasilkan dari kegiatan membaca paling rendah bila dibandingkan dengan kegiatan yang lain, maka pelajaran membaca perlu mendapat perhatian khusus. Dengan menggunakan pendekatan komunikatif-integratif, kegiatan pelajaran membaca tidak terbatas pada membaca saja, tetapi dapat juga mencakup kagiatan mendengar, berbicara, dan menulis. Hal ini berarti beberapa jenis kegiatan diintegrasikan dalam sebuah kegiatan, yaitu melalui pelajaran membaca.
Kegiatan mendengar ada dalam pelajaran membaca karena pembelajar harus mendengarkan ucapan-ucapan pengajar dan pembelajar lain ketika berinteraksi di dalam kelas, sedangkan kegiatan berbicara direalisasikan pada saat pembelajar mendiskusikan materi pelajaran, dan kegiatan menulis dilakukan pada saat pembelajar mengerjakan tugas-tugas menulis karangan atau laporan dari hasil diskusi kelompok.
Pada dasarnya pelajaran membaca itu sendiri dilaksanakan dalam tiga tahapan, yaitu tahap prabacaan, bacaan, dan pascabacaan. Setiap tahap harus dilakukan karena tahap yang satu menjadi prasyarat bagi tahap lainnya, dan keberhasilan pelajaran membaca ditentukan oleh ketiga tahapan itu :
1) Prabacaan (pre-reading)
Pada tahap prabacaan pengajar memperkenalkan tipe teks yang akan dipelajari dan menyampaikan gambaran umum mengenai topik yang akan dibahas. Tahap prabacaan berfungsi sebagai dasar dari keseluruhan pelajaran membaca. Hal ini berarti bahwa pembelajar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran ini bila yang bersangkutan tidak dibekali informasi dan pikiran yang tepat mengenai teks yang akan mereka baca.
Untuk itu sebelum pelajaran membaca dimulai, pengajar mulai menjelaskan hal-hal yang berhubungan dengan topik yang akan dibahas. Dalam hubungan ini pengajar menanyakan informasi apa saja yang akan muncul berkenaan dengan topik yang akan dipelajari dan dicacat pada papan tulis agar dapat dilihat dan diingat oleh para pembelajar.
Pada tahapan ini pengajar memiliki peran yang sangat penting dalam memotivasi pembelajar agar mereka terlibat secara aktif. Perlu diingat bahwa pada tahap prabacaan ini pengajar belum membagikan teks yang akan dipelajari. Sebelum teks dibagi, pengajar mendiskusikan topik yang akan dibahas di dalam teks. Diskusi ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang akan digunakan dalam memahami isi teks.
Contoh:
- Koran apa yang dibaca tiap hari?
- Berita apa yang pertama dicari?
- Apakah suka membaca rubrik editorial kartun?
- Pesan apa yang biasanya ingin disampaikan di dalamnya?
Kalau pembelajar memberikan respon yang positif terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, pengajar dapat langsung membagikan contoh kartun dan bersiap-siap untuk mendiskusikannya. Sebaliknya bila pembelajar memberikan respon yang negatif, pengajar dapat menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terstruktur untuk memahami teks dalam kartun tersebut sebelum meminta pembelajar untuk mendiskusikannya.
2) Bacaan (whilst-reading)
Kegiatan membaca dimulai ketika pengajar sudah mendistribusikan teks kepada para pembelajar. Para pembelajar diminta membaca dan memahami isi teks. Kata-kata yang dianggap sulit (karena belum pernah dikenalnya) dicacat dan ditanyakan kepada pengajar. Pengajar menjelaskan makna kata dan langsung memberikan sinonimnya agar penguasaan kosakata pembelajar bertambah.
Pada bagian bacaan terdapat pertanyaan tentang teks atau memilih serta mengisi bagian-bagian tertentu dari soal yang disajikan. Untuk mengerjakan bagian ini para pembelajar dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri atas 2 atau 3 orang. Dalam kelompok tersebut pembelajar berdiskusi dengan temannya mengenai apa yang ditanyakan dalam teks.
Setelah diskusi selesai pengajar mengecek pemahaman pembelajar dengan bertanya kepada para pembelajar satu per satu mengenai apa yang dikerjakan dan bagaimana hasilnya. Jika dalam materi pelajaran terdapat bagian yang harus diperankan, maka para pembelajar diminta untuk bermain peran (role play) mengenai hal tertentu, seperti wawancara antara wartawan dengan seorang anggota DPR, atau percakapan antara pelayan toko dan pembeli.
Contoh : Pengajar menjelaskan tentang arti kata sungkan dan budaya sungkan yang ada di lingkungan sekitar (di Indonesia).
3) Pascabacaan (post-reading)
Pada bagian pascabacaan terdapat tugas yang harus dikerjakan oleh para pembelajar setelah pelajaran selesai. Jadi para pembelajar diberi pekerjaan rumah yang harus dikumpulkan pada hari berikutnya ketika pelajaran yang sama berlangsung lagi. Pekerjaan rumah para pembelajar dari tahapan pascabacaan ini harus diperiksa oleh pengajar hasilnya dikembalikan kepada para pembelajar.
Jika waktu tidak memungkinkan, bagian pascabacaan ini tidak perlu dibahas di kelas, tetapi pengajar menyediakan waktu bagi para pembelajar jika ingin menanyakan sesuatu terkait materi yang ada.
Contoh :
- Pembelajar diberi tugas untuk membaca kartun lain dari mass media yang disukai
- Pembelajar diminta untuk menuliskan pemahamannya atas kartun terkait dalam sebuah paragraf
- Pembelajar mengumpulkan tugas tersebut pada pertemuan berikutnya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa pendekatan komunikatif integratif merupakan pilihan yang sesuai bila ingin menggunakan materi otentik dalam pengembangan pembelajaran bahasa. Unsur budaya dan bahasa adalah dua hal yang perlu diperkenalkan sedini mungkin kepada pembelajar.
Dengan menggunakan bahan ajar yang fungsional yaitu bahan ajar yang bersumber dari materi otentik, pembelajar akan memperoleh kemudahan untuk menguasai bahasa yang sedang dipelajarinya. Pembelajar dapat lebih memahami kebermaknaan materi yang dipelajarinya karena mereka mengalaminya langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Pengajar dituntut untuk lebih kreatif dalam mengembangkan bahan ajarnya, lebih terstruktur dalam mempersiapkan kegiatan pembelajaran di kelas, lebih optimal dalam memotivasi pembelajar, dan lebih memperhatikan setiap kesulitan maupun keberhasilan pembelajar. Hal ini mutlak untuk dicermati oleh setiap pengajar agar dapat lebih meningkatkan keberhasilan pengajaran bahasa di seluruh Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- Dardjowidjojo, S. 1996. Metode dan keberhasilan Pengajaran Bahasa. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBAHASA II). IKIP
- Dubin, F, and D.E Eskey and W Grabe. 1986. Teaching Second Language: Reading for Academic Purposes. Addison: Wesley Publishing Co.
- Hertaningsih, A. 2000. Tupan-atupan@peter.petra.ac.id. http://fportfolio. etra.ac.id/user files/82-006/Makalah% 0BAHASA,%20anneke.doc.
- Kartomihardjo, S. 1996. Bahan Pengajaran Bagi Pembelajar Pemula Dan Teknik Penyampaiannya. Makalah dalam Konferensi Internasional II Pengajaran Bahasa Indonesia Bagi Penutur Asing (KIPBAHASA II). IKIP
- Lado, R. 1985. Memory Span as a Factor in Second Language Learning, dalam IRAL 3:23-129.
- Lapoliwa, H. 1996. BAHASA dan Pembinaan Citra Bahasa Indonesia. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBAHASA II). IKIP
- Nunan, D. 1990. Designing Tasks for Communicative Classroom. Cambridge: Cambridge University Press.
- Riasa, N. 1996. Bahasa In Bali: Program Pengajaran Bahasa Indonesia Yang Memadukan Komponen Linguistik Dan Budaya Bagi Penutur Asing. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBAHASA II). IKIP.
- Subyakto-Nababan. 1996. Pengajaran Bahasa Indonesia Kepada Penutur Asing Menurut Pendekatan Komunikatif. Makalah dalam Konferensi Internasioanl II Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (KIPBAHASA II). IKIP