Berikut ini adalah posting tentang Contoh Makalah Bahasa Daerah yang membahas tentang Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Pengajaran disusun oleh I Made Sutama (Jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah-Universitas Pendidikan Ganesha). sebelumnya "Contoh Makalah Bahasa Inggris"
Kata-kata kunci: bahasa daerah, pengajaran, bahasa pengantar, pendekatan komunikatif
The language-loyalty of the vernacular language speech community to their language has decreased, espicially in the family domain, whereas from the family, for the first time, children acquire their language. This is a problem to be solved. For overcoming the problem, two alternative ways should be done in the teaching of the language. The first alternative is to use the language as medium of instruction, espicially in the kindergarten level until the third grade. The second alternative is to use communicative approach in teaching the language. By the two alternative ways, we can create a new vernacular language environtment to complement the use of the language in the family domain or to change it. The new language environtment can be functioned as language input or motivate children to produce language out put which are needed for acquiring the vernacular language. But, for implementing the alternatives, the vernacular language should be developed, the language teaching focuses/aspects should be minimized, and the quality of the vernacular language teachers should be enhanced.
Key words: vernacular language, teaching, medium of instruction, communicative approach
1. PENDAHULUAN
Ketika dua atau lebih bahasa bersanding dalam pemakaiannya di masyarakat, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua bahasa itu hidup berdampingan secara berkeseimbangan dan memiliki kesetaraan. Kedua, salah satu bahasa menjadi lebih dominan, menjadi bahasa mayoritas, dan menjadi lebih berprestise, sementara yang lain berkondisi serba sebaliknya, bahkan terancam menuju kepunahannya. “Rapid change often occurs when there is extensive bilingualism, which can lead to one language being lost altogether” (Anonby, 1999). Kemungkinan kedua menjadi kenyataan di Indonesia dalam kaitan dengan bersandingnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah.
Kemungkinan akan punahnya suatu bahasa dicemaskan oleh banyak pihak. Berangkat dari keprihatinan akan matinya banyak bahasa, UNESCO (dalam Purwo, 2000) mencanangkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional pada suatu konferensi bulan November 1999 dan mulai merayakannya sejak tahun 2000. Ada alasan mendasar mengapa kepunahan suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan (Reyhner, 1999). Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa dan budaya, Dawson (dalam Anonby, 1999) mengatakan, tanpa bahasa, budaya kita pun akan MATI. Hal ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), bahasa adalah penyangga budaya; sebagian besar budaya terkandung di dalam bahasa dan diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Ketika kita berbicara tentang bahasa, sebagian besar yang kita bicarakan adalah budaya.
Untuk menghambat atau mencegah laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, berbagai upaya pemertahanan dilakukan, termasuk melalui lembaga pendidikan. Pertanyaan yang muncul, kemudian, adalah dapatkah bahasa-daerah diselamatkan dari kepunahannya melalui pengajaran? Menurut penulis, jawabannya adalah “dapat”. Untuk membuktikan hal itu, akan dilakukan pembahasan dengan sistematika (1) lingkungan bahasa dan pengaruhnya terhadap penguasaan bahasa, (2) kondisi pemakaian bahasa daerah di Indonesia saat ini, dan (3) pilihan penyelamatan bahasa daerah.
2. PEMBAHASAN
2.1 Lingkungan Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah bahasa yang ada di sekitar anak, baik yang keberadaannya bersifat alamiah maupun yang keberadaannya karena disengaja. Berdasarkan hal itu, lingkungan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: lingkungan bahasa alamiah (informal) dan lingkungan bahasa tidak alamiah (formal) (Huda, 1999). Jika fokus pembicara adalah isi komunikasi, lingkungan bahasa itu disebut alamiah; jika fokus pembicara adalah bentuk bahasa, lingkungan bahasa itu disebut tidak alamiah (Dulay dan Burt, 1982). Lingkungan bahasa informal pada umumnya ada di luar kelas. Akan tetapi, lingkungan semacam ini juga ada di dalam kelas. Dikatakan demikian karena, seperti dikemukakan di atas, lingkungan bahasa informal adalah lingkungan penggunaan bahasa untuk tujuan-tujuan komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, di dalam kelas, bahasa pada umumnya digunakan untuk tujuan komunikasi, yakni menyajikan atau mendiskusikan materi pelajaran. Sebaliknya, lingkungan bahasa formal adanya terutama di dalam kelas, khususnya di kelas bahasa, dalam bentuk pengajaran formal kaidah-kaidah bahasa.
Kedua lingkungan bahasa itu berpengaruh terhadap percepatan penguasaan bahasa oleh anak. Namun demikian, pengaruh yang diberikan oleh kedua jenis lingkungan bahasa itu berbeda-beda (Huda, 1999). Untuk menjelaskan hal itu, dua hipotesis dari Ellis (dalam Huda, 1999) perlu dikemukakan di sini, yaitu: hipotesis non-interface dan hipotesis interface. Kedua hipotesis itu berbeda dalam hal tipe pengetahuan linguistik, yakni: pengetahuan eksplisit dan pengetahuan implisit, dan interaksi antara keduanya. Pengetahuan linguistik eksplisit ditunjukkan oleh adanya kesadaran akan kaidah-kaidah bahasa. Pengetahuan linguistik implisit ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan wacana yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa tanpa adanya kesadaran akan kaidah-kaidah itu.
Menurut para pendukung hipotesis non-interface, bahasa dikuasai oleh anak karena adanya lingkungan bahasa formal dan lingkungan bahasa informal. Dari yang pertama, anak mempelajari bahasa; sementara dari yang kedua, anak memperoleh bahasa. Pemerolehan memiliki peranan sentral dalam kaitannya dengan kemampuan anak memproduksi wacana, sementara pembelajaran hanya membantu sebagai monitor. Fungsi utama monitor adalah meningkatkan keakuratan bahasa yang diproduksi. Tidak ada cara mengubah pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan implisit. Ini berarti bahwa belajar gramatika tidak secara langsung meningkatkan penguasaan bahasa, sehingga dengan demikian, yang lebih memberi kontribusi kepada perkembangan penguasaan bahasa anak adalah lingkungan bahasa informal. Sebagaimana dikatakan oleh Dulay dan Burt (1982), lingkungan bahasa alamiah tampak meningkatkan perkembangan keterampilan komunikasi. Secara jelas, pemajanan yang alamiah kepada suatu bahasa memicu terjadinya pemerolehan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa itu secara bawah sadar.
Tentang bagaimana bahasa dikuasai secara informal, melalui pemerolehan, dijelaskan oleh sebuah hipotesis yang disebut Hipotesis Input. Hipotesis ini dikemukakan oleh Karshen dan Terrel (1984). Menurut hipotesis ini, anak tidak mempelajari bahasa, tetapi memperoleh bahasa. Bahasa itu diperoleh melalui pemahaman atas masukan bahasa yang sedikit lebih sulit dripada bahasa yang telah dikuasai oleh anak, yang diterima dari penggunaan bahasa di sekitarnya, apakah itu bahasa lisan atau bahasa tulis. Dengan demikiam, menyimak dan membaca merupakan dua hal penting dalam rangka memperoleh bahasa. Sementara, berbicara dan menulis, menurut hipotesis ini, akan tumbuh dengan sendirinya pada diri anak, begitu mereka memiliki kompetensi yang didapat melalui masukan yang dipahami. Tumbuhnya keterampilan menulis telah terbukti lebih dipicu oleh banyaknya aktivitas membaca yang dilakukan atas inisiatif sendiri daripada oleh pengajaran keterampilan menulis yang disengaja (Krashen, dalam Ellis, 1990).
Pendukung hipotesis interface berpendapat bahwa pengetahuan linguistik eksplisit dan pengetahuan linguistik implisit bukanlah merupakan dua hal yang sepenuhnya terpisah. Pengetahuan linguistik eksplisit dapat berubah menjadi pengetahuan linguistik implisit; demikian juga sebaliknya. Menurut Bialystock (dalam Huda, 1999), praktik, misalnya, merupakan mekanisme untuk mengubah pengetahuan linguistik yang eksplisit menjadi pengetahuan linguistik implisit. Karena adanya mekanisme pengubahan semacam ini, baik pengetahuan linguistik eksplisit maupun pengetahuan linguistik implisit dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: lingkungan bahasa informal dan lingkungan bahasa formal. Dengan demikian, kedua lingkungan bahasa itu memiliki peranan yang sama dalam meningkatkan penguasaan bahasa oleh anak.
Jika kedua hipotesis di atas dicermati, tampak ada kesamaan (Huda, 1999). Kesamaan itu terletak pada dukungan akan kuatnya peranan pengetahuan linguistik implisit. Hipotesis non-interface secara jelas menunjukkan dukungan ini. Hipotesis interface secara tidak langsung menyatakan bahwa pengetahuan linguistik eksplisit memberikan kontribusi secara tidak langsung kepada kemampuan komunikasi.
2.2 Kondisi Pemakaian Bahasa Daerah di Indonesia Saat Ini
Oleh orang Indonesia, dewasa ini ada sekurang-kurangnya tiga bahasa yang mereka kenal dan/atau mereka pakai, yaitu: bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Bahasa Inggris umumnya dikenal melalui lembaga pendidikan, formal atau nonformal. Melalui pendidikan formal, Bahasa Inggris, secara umum mulai diperkenalkan (diajarkan) sejak jenjang SLTP. Namun, sekarang ini muncul fenomena bahasa Inggris mulai diperkenalkan di jenjang sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak. Melalui pendidikan nonformal, bahasa Inggris diperkenalkan di berbagai lembaga kursus bahasa. Selanjutnya, bahasa yang telah mereka kenal itu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Ada yang menggunakan bahasa itu untuk kepentingan pendidikan. Namun, ada juga yang menggunakan bahasa itu untuk kepentingan berusaha, khususnya di bidang pariwisata yang menjadi salah satu bidang andalan beberapa daerah di Indonesia yang kaya akan daerah tujuan wisata.
Bahasa Indonesia diperkenalkan dan digunakan di semua provinsi di Indonesia terutama sebagai akibat dari provinsi-provinsi itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana diketahui, bagi NKRI, bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni: sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara (Halim, 1981). Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejumlah fungsi. Pertama, sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Semua dokumen dan keputusan, serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya ditulis di dalam bahasa Indonesia.
Kedua, sebagai bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai alat perhubungan antarderah, antarsuku, dan di dalam masyarakat yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang sama.
Ketiga, sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia digunakan di dalam pembelajaran di taman kanak-kanak, di sekolah dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah menengah, dan di perguruan tinggi. Keempat, sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia digunakan untuk mengembangkan kebudayaan nasional dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sementara itu, bahasa daerah diidealkan memiliki sejumlah fungsi juga. Fungsi-fungsi itu adalah: (1) alat komunikasi intraetnis, (2) sarana menunjukkan keakraban, (3) sarana menunjukkan identitas daerah dan kebanggaan daerah. Dengan fungsi-fungsi itu, diharapkan bahasa daerah dipakai secara murni dalam ranah keluarga, ketetanggaan dan kekariban (antaranggota etnis yang sama), ranah adat, dan ranah agama.
Namun, kenyataan yang ada ialah pemakaian bahasa daerah telah terkontaminasi oleh pemakaian unsur-unsur bahasa Indonesia dan mengalami pergeseran. Hal semacam ini terungkap, antara lain, melalui penelitian Sutama dan Suandi (2000) yang berjudul Loyalitas-Bahasa Penutur Bahasa Bali terhadap bahasanya. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif. Melalui penelitian ini, dikumpulkan data tentang penggunaan bahasa pada tiga ranah, yakni: ranah keluarga, ranah adat, dan ranah agama, dengan menggunakan kuesioner, observasi partisipan, dan wawancara, pada masing-masing satu desa dan satu kelurahan di empat kabupaten di Bali, yaitu: Buleleng, Klungkung, Badung, dan Tabanan. Ada 96 responden dari tiga kelompok umur, yaitu: anak-anak (15-20), dewasa (21-60), dan orang tua (61 tahun ke atas), yang tersebar secara merata di kedelepan situs, yang dilibatkan; sejumlah peristiwa tutur yang diobservasi, dan sejumlah informan diwawancarai. Semua data ini, kemudian, dianalisis secara induktif.
Hasilnya adalah seperti berikut ini. Pada ranah keluarga, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah lima responden dari kelompok anak-anak, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, lima belas responden dari kelompok dewasa, enam di pedesaan dan sembilan di perkotaan, sembilan responden dari kelompok orang tua, empat di pedesaan dan lima di perkotaan. Jadi, ada 29 responden (30,21%) yang tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni, dari 96 responden dalam penelitian ini. Fenomena ketidakmurnian penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga yang terungkap melalui jawaban atas pertanyan-pertanyan dalam kuesioner mendapat pembenaran dan penguatan dari hasil observasi pada kedelapan situs. Pembenaran yang lebih mencemaskan diperoleh dari Majalah Sarad, Nomor 14, Februari 2001. Di sana diungkapkan, “Keluarga-keluarga di perkotaan, termasuk di kawasan desa di pinggir kota, sehari-hari sangat kentara lebih suka memilih berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka, entah keluarga itu dari lapisan ekonomi dan pendidikan kelas atas, menengah, atau bawah.” Hal yang sama terjadi pula di lingkungan penulis yang merupakan kompleks perumahan di pinggir barat Kota Singaraja.
Pada ranah adat, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, satu di pedesaan dan empat di perkotaan, dua responden dari kelompok orang tua, keduanya di perkotaan. Dengan demikian, dari 96 responden, ada 10 responden (10,42%) yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni dalam ranah adat. Sebagaimana dalam ranah keluarga, fenomena dalam ranah adat ini juga didukung oleh hasil observasi pada semua situs penelitian.
Pada ranah agama, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, satu responden dari kelompok orang tua di perkotaan. Jadi, ada sembilan responden (9,38%) dari 96 responden yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil observasi. Hasil observasi atas peristiwa tutur pengorganisasian kegiatan di pura, persembahyangan, dan dharma wacana menunjukkan wacana-wacana dalam ranah agama bersih dari penyisipan unsur-unsur bahasa Indonesia. Bisa jadi, pengakuan responden di atas berkaitan dengan penggunaan bahasa Bali di luar peristiwa tutur pengorganisasian kegiatan di pura, persembahyangan, dan dharma wacana (kotbah), seperti dharma tula (diskusi agama), misalnya.
Fenomena pergeseran tidak hanya menimpa bahasa Bali, tetapi juga bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti bahasa Jawa dan bahasa Lampung. Dalam kasus bahasa Jawa, misalnya, Mustakim (1996) menemukan bahwa kalangan generasi muda Jawa perantauan di Jakarta kurang akarab atau kurang bersikap positif terhadap bahasa Jawa. Demikian juga halnya dengan generasi muda Jawa di Surabaya. Oetomo (dalam Mustakim, 1996), melalui penelitiannya di lingkungan perumahan KPR/BTN, menemukan gejala pergeseran pemakaian bahasa Jawa pada penghuninya yang kebanyakan merupakan pindahan dari daerah perkampungan ke tengah kota. Temuan Suparno (1996) melengkapi temuan ini. Ditemukan bahwa dalam keluarga muda Jawa, telah terjadi pergeseran yang sangat cepat dalam hal penggunaan bahasa Jawa oleh bahasa Indonesia. Dalam kasus bahasa Lampung, kondisinya lebih gawat. Gunarwan (dalam Purwo, 2000), melalui penelitian sosiolinguistiknya, mendapatkan bukti kuantitatif yang sangat meyakinkan bahwa bahasa Lampung dapat punah dalam perkiraan waktu 75-100 tahun lagi.
2.3 Pilihan Penyelamatan Bahasa Daerah
Dari temuan yang telah disebutkan di depan, yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya pergeseran penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Kekhawatiran itu muncul karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan bahasa informal paling utama, tempat semestinya anak pertama kali dan dalam waktu yang paling lama memperoleh bahasa daerah. Di dalam keluargalah bisa terjadi transmisi bahasa lintas generasi yang berguna bagi pemertahanan bahasa daerah (Reyhner, 1999). Jika pergeseran itu terus-menerus terjadi, ke depan, penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga semakin sulit untuk diharapkan menjadi penopang lestarinya bahasa daerah. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara lain untuk menciptakan lingkungan bahasa untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahannya. Cara itu adalah (1) mewajibkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sejak di taman kanak-kanak sampai dengan di kelas tiga sekolah dasar pada daerah-daerah yang dimungkinkan dan (2) mengajarkannya sebagai mata pelajaran dengan dengan pendekatan komunikatif.
2.3.1 Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar Pembelajaran
Ada beberapa alasan mengapa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran ditawarkan. Alasan pertama berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendidikan dan kebudayaan termasuk bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam bab IV, pasal 7 UU Nomor 22, Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Bahkan, bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana disebutkan dalam pasal 11, ayat 2, bab IV UU itu. Dengan demikian, menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tidak begitu menjadi masalah bagi pemerintah daerah karena merupakan bagian dari kewenangannya. Dalam bab VII, UU Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 33, tentang bahasa pengantar disebutkan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia (ayat 1); namun, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu (ayat 2).
Alasan kedua berkaitan dengan upaya “memaksa” orang tua untuk menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya di dalam keluarga/di rumah. Sementara ini, salah satu alasan para orang tua suku Bali menggunakan bahasa Bali yang diselipi unsur-unsur bahasa Indonesia, atau, bahkan bahasa Indonesia secara murni di rumah adalah agar anak-anak mereka bisa berbahasa Indonesia untuk kepentingan komunikasi dalam situasi tertentu (Sutama dan Suandi, 2000). Bisa jadi situasi tertentu yang dimaksud adalah pembelajaran di lembaga pendidikan yang memiliki kecenderungan kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia sejak di taman kanak-kanak sebagai bahasa pengantarnya. Dugaan ini masuk akal karena siapa pun akan khawatir kalau anak-anaknya tidak bisa mengikuti kegiatan belajar di kelas karena tidak bisa menguasai bahasa pengantar yang digunakan. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di kelas akan mendorong para orang tua untuk membiasakan anak-anak mereka berbahasa daerah di rumah sebelum memasuki dunia sekolah.
Alasan ketiga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teoretis. Peristiwa pembelajaran adalah suatu peristiwa interaksi yang, sekurang-kurangnya, berlangsung antara guru dan siswa. Interaksi, dalam hal ini, sudah pasti bermediakan bahasa. Jika bahasa daerah diwajibkan untuk dijadikan bahasa pengantar di dalam pembelajaran, tentu di dalam interaksi itu bahasa daerahlah yang digunakan. Ini berarti bahwa peristiwa pembelajaran menjadi kaya dengan lingkungan bahasa daerah informal yang sangat diperlukan dalam rangka anak memperoleh bahasa daerah itu. Sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), sekolah merupakan tempat yang sangat penting bagi penggunaan beberapa aspek bahasa.
Tentang pentingnya interaksi dalam pemerolehan bahasa dikemukakan oleh Ellis (1990). Dikatakan bahwa interaksi dapat dihipotesiskan berkontribusi pada pemerolehan bahasa melalui dua cara. Pertama, melalui resepsi dan pemahaman anak atas bahasa yang digunakan oleh guru. Teori belajar bahasa berdasarkan resepsi sangat menekankan pentingnya input. Hipotesis frekuensi menyatakan bahwa anak memperoleh ciri-ciri linguistik sesuai dengan frekuensinya sebagai input. Semakin sering suatu ciri linguistik didengar oleh anak, semakin cepat ciri itu dikuasai oleh anak. Kedua, melalui upaya anak memproduksi bahasa itu di dalam peristiwa pembelajaran. Swain (dalam Ellis, 1990) mengajukan hiotesis output. Hipotesis ini menyatakan bahwa anak memerlukan kesempatan untuk memproduksi bahasa dalam rangka mengembangkan tingkat profisiensi gramatikanya. Hal ini ternyata didukung oleh Ellis. Menurut Ellis (1990), output sangat penting bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Dengan demikian, jika bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam pembelajaran, niscaya penguasaan bahasa daerah oleh anak akan dapat ditingkatkan.
Ada contoh tentang keberhasilan strategi pemertahanan bahasa daerah melalui penggunaannya di dalam pengajaran bidang studi. Contoh itu adalah yang dilakukan oleh The Rock Point Community School dalam pemertahanan bahasa Navajo (Reyhner, 1999). Di situ, dua per tiga dari aktivitas “belajar” di TK dan setengah aktivitas belajar di kelas I sampai dengan kelas III menggunakan bahasa Navajo sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Sementara, dari kelas IV sampai dengan kelas XII bahasa Navajo hanya digunakan dalam seperlima sampai seperempat waktu pembelajaran.
2.3.2 Pengajaran Bahasa Daerah dengan Pendekatan Komunikatif
Pengajaran bahasa, sebagaimana pengajaran pada umumnya, berkaitan dengan banyak aspek, seperti: hakikat dan fungsi hal yang diajarkan, tujuan pengajaran, pemilihan dan pengembangan bahan pengajaran, penciptaan pengalaman belajar, media dan sumber belajar, dan model penilaian. Pendekatan komunikatif memiliki prinsip berikut ini tentang semua itu (Suyono dan Muslikh, 1996). Bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau alat komunikasi yang memiliki banyak variasi. Tujuan pengajaran bahasa adalah menumbuhkan performansi komunikatif yang handal, sesuai dengan kebutuhan komunikasi yang dimiliki oleh siswa. Untuk menumbuhkan hal itu, diperlukan bahan yang merupakan wacana otentik. Pemilihan dan pengembangan bahan itu perlu disertai dengan penciptaan pengalaman belajar yang, memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat dalam peristiwa berbahasa yang bermakna, (2) menggunakan bahasa secara aktual, dan (3) memungkinkan siswa memanfaatkan berbagai ragam bahasa. Pengalaman belajar yang diciptakan itu perlu didukung dengan media dan sumber belajar yang (1) memberikan pengalaman langsung kepada siswa untuk belajar berbahasa, (2) berupa fakta atau peristiwa berbahasa yang aktual, (3) sesuai dengan kemungkinan tuntutan berbahasa siswa, dan (4) bervariasi baik wujud maupun ragamnya. Akhirnya, pelaksanaan pembelajaran perlu dievaluasi dengan model evaluasi yang (1) dapat mengukur secara langsung kemahiran berbahasa siswa, (2) mendorong siswa aktif berlatih berbahasa, dan (3) merangsang secara terus-menerus teraktualisasikannya performansi komunikatif.
Dengan sejumlah prinsipnya, penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa daerah akan membawa akibat seperti berikut ini. Bahasa daerah akan dipandang sebagai sistem penyampai pesan yang memiliki fungsi komunikatif. Berkaitan dengan hal itu, keberadaan bahasa daerah dengan berbagai variasi ragamnya akan dihormati di dalam pengajaran dan orientasi pengajarannya akan menjadi lebih pada fungsi komunikasi daripada pada bentuk dan struktur. Pengajaran bahasa daerah akan diarahkan menuju ke pemilikan performansi komunikatif oleh siswa yang dilandasi oleh pemilikan kompetensi komunikatif. Untuk mencapai tujuan itu, dalam pengajaran bahasa daerah akan digunakan bahan-bahan pengajaran yang berupa wacana otentik, sehingga mampu mendukung terwujudnya performansi komunikatif pada diri siswa. Di samping itu, akan dipilih juga media pengajaran yang sejalan dengan bahan pengajaran yang ditetapkan untuk mendukung penciptaan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat dalam peristiwa berbahasa daerah yang bermakna dan (2) menggunakan bahasa daerah dengan berbagai ragamnya secara aktual. Dalam mengevaluasi pengajarannya, di dalam pengajaran bahasa daerah akan dilakukan pengukuran langsung terhadap kemahiran siswa berbahasa daerah sehingga mereka terdorong untuk berlatih menggunakan bahasa daerah secara lisan maupun tertulis. Hal ini dengan sendirinya akan merangsang siswa secara terus-menerus mengaktualisasikan performansi komunikatifnya dalam bahasa daerah. Akhirnya, jika bahasa daerah diajarkan dengan menerapkan pendekatan komunikatif, lingkungan baru pemakaian bahasa daerah akan tercipta sebagai pelengkap atau pengganti lingkungan pemakaian bahasa daerah di dalam keluarga yang secara terus-menerus mengalami penyusutan. Menurut Anonby (1999), immersion language teaching environments merupakan satu dari lima karakteristik penting upaya pemertahanan bahasa yang berhasil, sebagaimana terbukti pada pendidikan prasekolah di New Zealand.
3. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, simpulan dapat ditarik. Dengan mencermati teori pemerolehan bahasa, melihat situasi pemakaian bahasa daerah di Indonesia dewasa ini, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pilihan yang ada untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahannya adalah berikut ini. Pertama, menggunakannya sebagai bahasa pengantar, sekurang-kurangnya, mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai dengan sekolah dasar kelas tiga. Untuk mengemban tugas itu, pengembangan bahasa daerah merupakan sesuatu yang harus dilakukan.
Kedua, mengajarkannya dengan pendekatan komunikatif. Untuk melakukan hal ini, beberapa hal perlu dicermati. Karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk pengajaran bahasa daerah ( dua sampai tiga jam pelajaran seminggu), perlu ditetapkan fokus pengajaran. Saran penulis adalah, pengajaran bahasa daerah difokuskan pada penumbuhan keterampilan berbicara dan membaca dengan alasan berikut ini. Pertama, di dalam aktivitas berbicara, dengan sendirinya akan ada aktivitas menyimak. Kedua, bertolak dari salah satu teori pemerolehan bahasa, aktivitas berbahasa reseptif akan mendorong tumbuhnya kemampuan berbahasa produktif secara alami: aktivitas membaca yang tinggi akan menumbuhkan kemampuan menulis karena, selama membaca, secara sadar atau tidak, pembaca juga mengidentifikasi karakteristik wacana tulis yang mereka hadapi (Squire, 1989). Karena banyak guru yang mengasuh pelajaran bahasa daerah bukan berlatar belakang pendidikan bahasa daerah, perlu dilakukan upaya peningkatan mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengembangan jurusan pendidikan bahasa daerah pada daerah-daerah yang belum memilikinya untuk menghasilkan guru mata pelajaran bahasa daerah melalui pendidikan formal. Menurut survei The Assembly of First Nation (AFN) tahun 1990 (Burnaby, 1996), kekurangan guru terlatih merupakan salah satu masalah besar dalam pengajaran bahasa daerah (aboriginal language).
DAFTAR PUSTAKA
itulah tadi posting tentang contoh makalah bahasa daerah yang membahas tentang Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Pengajaran. semoga bermanfaat
MENYELAMATKAN BAHASA DAERAH MELALUI PENGAJARAN
Oleh I Made Sutama
Jurusan Pendidikan Bahasa,Sastra Indonesia dan Daerah
Universitas Pendidikan Ganesha
ABSTRAK
Loyalitas-bahasa penutur bahasa daerah terhadap bahasanya mengalami penurunan, terutama pada ranah keluarga. Padahal, dari keluargalah, terutama, anak memperoleh bahasa itu. Kondisi ini perlu diatasi. Untuk mengatasinya, perlu dilakukan upaya melalui pengajaran. Alternatif pertama, terutama dari TK sampai dengan kelas III SD, bahasa daerah perlu dijadikan bahasa pengantar pembelajaran. Di samping itu, sebagai alternatif kedua, di dalam pengajaran bahasa daerah itu sendiri, perlu diterapkan pendekatan komunikatif. Melalui salah satu atau kedua cara itu, akan tercipta lingkungan baru penggunaan bahasa daerah sebagai pelengkap atau pengganti lingkungan penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Lingkungan baru inilah yang akan menciptakan input untuk anak maupun mendorong terciptanya out put dari anak yang keduanya diperlukan bagi terjadinya pemerolehan bahasa daerah. Hanya saja, untuk melakukan upaya pertama, bahasa daerah perlu dikembangkan lebih lanjut; sementara, untuk melakukan upaya kedua, fokus pengajaran bahasa daerah perlu dibatasi, di samping perlunya peningkatan mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengadaan guru bahasa daerah yang baru melalui pendidikan formal.Kata-kata kunci: bahasa daerah, pengajaran, bahasa pengantar, pendekatan komunikatif
ABSTRACT
The language-loyalty of the vernacular language speech community to their language has decreased, espicially in the family domain, whereas from the family, for the first time, children acquire their language. This is a problem to be solved. For overcoming the problem, two alternative ways should be done in the teaching of the language. The first alternative is to use the language as medium of instruction, espicially in the kindergarten level until the third grade. The second alternative is to use communicative approach in teaching the language. By the two alternative ways, we can create a new vernacular language environtment to complement the use of the language in the family domain or to change it. The new language environtment can be functioned as language input or motivate children to produce language out put which are needed for acquiring the vernacular language. But, for implementing the alternatives, the vernacular language should be developed, the language teaching focuses/aspects should be minimized, and the quality of the vernacular language teachers should be enhanced.
Key words: vernacular language, teaching, medium of instruction, communicative approach
1. PENDAHULUAN
Ketika dua atau lebih bahasa bersanding dalam pemakaiannya di masyarakat, ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kedua bahasa itu hidup berdampingan secara berkeseimbangan dan memiliki kesetaraan. Kedua, salah satu bahasa menjadi lebih dominan, menjadi bahasa mayoritas, dan menjadi lebih berprestise, sementara yang lain berkondisi serba sebaliknya, bahkan terancam menuju kepunahannya. “Rapid change often occurs when there is extensive bilingualism, which can lead to one language being lost altogether” (Anonby, 1999). Kemungkinan kedua menjadi kenyataan di Indonesia dalam kaitan dengan bersandingnya bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah.
Kemungkinan akan punahnya suatu bahasa dicemaskan oleh banyak pihak. Berangkat dari keprihatinan akan matinya banyak bahasa, UNESCO (dalam Purwo, 2000) mencanangkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional pada suatu konferensi bulan November 1999 dan mulai merayakannya sejak tahun 2000. Ada alasan mendasar mengapa kepunahan suatu bahasa sangat dikhawatirkan. Bahasa memiliki jalinan yang sangat erat dengan budaya sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan (Reyhner, 1999). Karena begitu eratnya jalinan antara bahasa dan budaya, Dawson (dalam Anonby, 1999) mengatakan, tanpa bahasa, budaya kita pun akan MATI. Hal ini bisa terjadi karena, sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), bahasa adalah penyangga budaya; sebagian besar budaya terkandung di dalam bahasa dan diekspresikan melalui bahasa, bukan melalui cara lain. Ketika kita berbicara tentang bahasa, sebagian besar yang kita bicarakan adalah budaya.
Untuk menghambat atau mencegah laju kepunahan bahasa-bahasa daerah di Indonesia, berbagai upaya pemertahanan dilakukan, termasuk melalui lembaga pendidikan. Pertanyaan yang muncul, kemudian, adalah dapatkah bahasa-daerah diselamatkan dari kepunahannya melalui pengajaran? Menurut penulis, jawabannya adalah “dapat”. Untuk membuktikan hal itu, akan dilakukan pembahasan dengan sistematika (1) lingkungan bahasa dan pengaruhnya terhadap penguasaan bahasa, (2) kondisi pemakaian bahasa daerah di Indonesia saat ini, dan (3) pilihan penyelamatan bahasa daerah.
2. PEMBAHASAN
2.1 Lingkungan Bahasa dan Pengaruhnya terhadap Penguasaan Bahasa
Lingkungan bahasa adalah bahasa yang ada di sekitar anak, baik yang keberadaannya bersifat alamiah maupun yang keberadaannya karena disengaja. Berdasarkan hal itu, lingkungan bahasa dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu: lingkungan bahasa alamiah (informal) dan lingkungan bahasa tidak alamiah (formal) (Huda, 1999). Jika fokus pembicara adalah isi komunikasi, lingkungan bahasa itu disebut alamiah; jika fokus pembicara adalah bentuk bahasa, lingkungan bahasa itu disebut tidak alamiah (Dulay dan Burt, 1982). Lingkungan bahasa informal pada umumnya ada di luar kelas. Akan tetapi, lingkungan semacam ini juga ada di dalam kelas. Dikatakan demikian karena, seperti dikemukakan di atas, lingkungan bahasa informal adalah lingkungan penggunaan bahasa untuk tujuan-tujuan komunikasi. Sebagaimana kita ketahui, di dalam kelas, bahasa pada umumnya digunakan untuk tujuan komunikasi, yakni menyajikan atau mendiskusikan materi pelajaran. Sebaliknya, lingkungan bahasa formal adanya terutama di dalam kelas, khususnya di kelas bahasa, dalam bentuk pengajaran formal kaidah-kaidah bahasa.
Kedua lingkungan bahasa itu berpengaruh terhadap percepatan penguasaan bahasa oleh anak. Namun demikian, pengaruh yang diberikan oleh kedua jenis lingkungan bahasa itu berbeda-beda (Huda, 1999). Untuk menjelaskan hal itu, dua hipotesis dari Ellis (dalam Huda, 1999) perlu dikemukakan di sini, yaitu: hipotesis non-interface dan hipotesis interface. Kedua hipotesis itu berbeda dalam hal tipe pengetahuan linguistik, yakni: pengetahuan eksplisit dan pengetahuan implisit, dan interaksi antara keduanya. Pengetahuan linguistik eksplisit ditunjukkan oleh adanya kesadaran akan kaidah-kaidah bahasa. Pengetahuan linguistik implisit ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan wacana yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa tanpa adanya kesadaran akan kaidah-kaidah itu.
Menurut para pendukung hipotesis non-interface, bahasa dikuasai oleh anak karena adanya lingkungan bahasa formal dan lingkungan bahasa informal. Dari yang pertama, anak mempelajari bahasa; sementara dari yang kedua, anak memperoleh bahasa. Pemerolehan memiliki peranan sentral dalam kaitannya dengan kemampuan anak memproduksi wacana, sementara pembelajaran hanya membantu sebagai monitor. Fungsi utama monitor adalah meningkatkan keakuratan bahasa yang diproduksi. Tidak ada cara mengubah pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan implisit. Ini berarti bahwa belajar gramatika tidak secara langsung meningkatkan penguasaan bahasa, sehingga dengan demikian, yang lebih memberi kontribusi kepada perkembangan penguasaan bahasa anak adalah lingkungan bahasa informal. Sebagaimana dikatakan oleh Dulay dan Burt (1982), lingkungan bahasa alamiah tampak meningkatkan perkembangan keterampilan komunikasi. Secara jelas, pemajanan yang alamiah kepada suatu bahasa memicu terjadinya pemerolehan keterampilan berkomunikasi dalam bahasa itu secara bawah sadar.
Tentang bagaimana bahasa dikuasai secara informal, melalui pemerolehan, dijelaskan oleh sebuah hipotesis yang disebut Hipotesis Input. Hipotesis ini dikemukakan oleh Karshen dan Terrel (1984). Menurut hipotesis ini, anak tidak mempelajari bahasa, tetapi memperoleh bahasa. Bahasa itu diperoleh melalui pemahaman atas masukan bahasa yang sedikit lebih sulit dripada bahasa yang telah dikuasai oleh anak, yang diterima dari penggunaan bahasa di sekitarnya, apakah itu bahasa lisan atau bahasa tulis. Dengan demikiam, menyimak dan membaca merupakan dua hal penting dalam rangka memperoleh bahasa. Sementara, berbicara dan menulis, menurut hipotesis ini, akan tumbuh dengan sendirinya pada diri anak, begitu mereka memiliki kompetensi yang didapat melalui masukan yang dipahami. Tumbuhnya keterampilan menulis telah terbukti lebih dipicu oleh banyaknya aktivitas membaca yang dilakukan atas inisiatif sendiri daripada oleh pengajaran keterampilan menulis yang disengaja (Krashen, dalam Ellis, 1990).
Pendukung hipotesis interface berpendapat bahwa pengetahuan linguistik eksplisit dan pengetahuan linguistik implisit bukanlah merupakan dua hal yang sepenuhnya terpisah. Pengetahuan linguistik eksplisit dapat berubah menjadi pengetahuan linguistik implisit; demikian juga sebaliknya. Menurut Bialystock (dalam Huda, 1999), praktik, misalnya, merupakan mekanisme untuk mengubah pengetahuan linguistik yang eksplisit menjadi pengetahuan linguistik implisit. Karena adanya mekanisme pengubahan semacam ini, baik pengetahuan linguistik eksplisit maupun pengetahuan linguistik implisit dapat diperoleh dari dua sumber, yaitu: lingkungan bahasa informal dan lingkungan bahasa formal. Dengan demikian, kedua lingkungan bahasa itu memiliki peranan yang sama dalam meningkatkan penguasaan bahasa oleh anak.
Jika kedua hipotesis di atas dicermati, tampak ada kesamaan (Huda, 1999). Kesamaan itu terletak pada dukungan akan kuatnya peranan pengetahuan linguistik implisit. Hipotesis non-interface secara jelas menunjukkan dukungan ini. Hipotesis interface secara tidak langsung menyatakan bahwa pengetahuan linguistik eksplisit memberikan kontribusi secara tidak langsung kepada kemampuan komunikasi.
2.2 Kondisi Pemakaian Bahasa Daerah di Indonesia Saat Ini
Oleh orang Indonesia, dewasa ini ada sekurang-kurangnya tiga bahasa yang mereka kenal dan/atau mereka pakai, yaitu: bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah. Bahasa Inggris umumnya dikenal melalui lembaga pendidikan, formal atau nonformal. Melalui pendidikan formal, Bahasa Inggris, secara umum mulai diperkenalkan (diajarkan) sejak jenjang SLTP. Namun, sekarang ini muncul fenomena bahasa Inggris mulai diperkenalkan di jenjang sekolah dasar, bahkan di taman kanak-kanak. Melalui pendidikan nonformal, bahasa Inggris diperkenalkan di berbagai lembaga kursus bahasa. Selanjutnya, bahasa yang telah mereka kenal itu mereka gunakan untuk berbagai keperluan. Ada yang menggunakan bahasa itu untuk kepentingan pendidikan. Namun, ada juga yang menggunakan bahasa itu untuk kepentingan berusaha, khususnya di bidang pariwisata yang menjadi salah satu bidang andalan beberapa daerah di Indonesia yang kaya akan daerah tujuan wisata.
Bahasa Indonesia diperkenalkan dan digunakan di semua provinsi di Indonesia terutama sebagai akibat dari provinsi-provinsi itu merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana diketahui, bagi NKRI, bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, yakni: sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara (Halim, 1981). Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia memiliki sejumlah fungsi. Pertama, sebagai bahasa resmi kenegaraan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. Semua dokumen dan keputusan, serta surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya ditulis di dalam bahasa Indonesia.
Kedua, sebagai bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai sebagai alat komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Bahasa Indonesia juga dipakai sebagai alat perhubungan antarderah, antarsuku, dan di dalam masyarakat yang berlatar belakang bahasa dan budaya yang sama.
Ketiga, sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia digunakan di dalam pembelajaran di taman kanak-kanak, di sekolah dasar, di sekolah lanjutan tingkat pertama, di sekolah menengah, dan di perguruan tinggi. Keempat, sebagai bahasa resmi di dalam pembangunan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, bahasa Indonesia digunakan untuk mengembangkan kebudayaan nasional dan menyebarkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Sementara itu, bahasa daerah diidealkan memiliki sejumlah fungsi juga. Fungsi-fungsi itu adalah: (1) alat komunikasi intraetnis, (2) sarana menunjukkan keakraban, (3) sarana menunjukkan identitas daerah dan kebanggaan daerah. Dengan fungsi-fungsi itu, diharapkan bahasa daerah dipakai secara murni dalam ranah keluarga, ketetanggaan dan kekariban (antaranggota etnis yang sama), ranah adat, dan ranah agama.
Namun, kenyataan yang ada ialah pemakaian bahasa daerah telah terkontaminasi oleh pemakaian unsur-unsur bahasa Indonesia dan mengalami pergeseran. Hal semacam ini terungkap, antara lain, melalui penelitian Sutama dan Suandi (2000) yang berjudul Loyalitas-Bahasa Penutur Bahasa Bali terhadap bahasanya. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif-kualitatif. Melalui penelitian ini, dikumpulkan data tentang penggunaan bahasa pada tiga ranah, yakni: ranah keluarga, ranah adat, dan ranah agama, dengan menggunakan kuesioner, observasi partisipan, dan wawancara, pada masing-masing satu desa dan satu kelurahan di empat kabupaten di Bali, yaitu: Buleleng, Klungkung, Badung, dan Tabanan. Ada 96 responden dari tiga kelompok umur, yaitu: anak-anak (15-20), dewasa (21-60), dan orang tua (61 tahun ke atas), yang tersebar secara merata di kedelepan situs, yang dilibatkan; sejumlah peristiwa tutur yang diobservasi, dan sejumlah informan diwawancarai. Semua data ini, kemudian, dianalisis secara induktif.
Hasilnya adalah seperti berikut ini. Pada ranah keluarga, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah lima responden dari kelompok anak-anak, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, lima belas responden dari kelompok dewasa, enam di pedesaan dan sembilan di perkotaan, sembilan responden dari kelompok orang tua, empat di pedesaan dan lima di perkotaan. Jadi, ada 29 responden (30,21%) yang tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni, dari 96 responden dalam penelitian ini. Fenomena ketidakmurnian penggunaan bahasa Bali dalam ranah keluarga yang terungkap melalui jawaban atas pertanyan-pertanyan dalam kuesioner mendapat pembenaran dan penguatan dari hasil observasi pada kedelapan situs. Pembenaran yang lebih mencemaskan diperoleh dari Majalah Sarad, Nomor 14, Februari 2001. Di sana diungkapkan, “Keluarga-keluarga di perkotaan, termasuk di kawasan desa di pinggir kota, sehari-hari sangat kentara lebih suka memilih berbahasa Indonesia dengan anak-anak mereka, entah keluarga itu dari lapisan ekonomi dan pendidikan kelas atas, menengah, atau bawah.” Hal yang sama terjadi pula di lingkungan penulis yang merupakan kompleks perumahan di pinggir barat Kota Singaraja.
Pada ranah adat, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, satu di pedesaan dan empat di perkotaan, dua responden dari kelompok orang tua, keduanya di perkotaan. Dengan demikian, dari 96 responden, ada 10 responden (10,42%) yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni dalam ranah adat. Sebagaimana dalam ranah keluarga, fenomena dalam ranah adat ini juga didukung oleh hasil observasi pada semua situs penelitian.
Pada ranah agama, yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni adalah tiga responden dari kelompok anak-anak, ketiganya di pedesaan, lima responden dari kelompok dewasa, dua di pedesaan dan tiga di perkotaan, satu responden dari kelompok orang tua di perkotaan. Jadi, ada sembilan responden (9,38%) dari 96 responden yang mengaku tidak lagi menggunakan bahasa Bali secara murni. Kondisi ini tidak sejalan dengan hasil observasi. Hasil observasi atas peristiwa tutur pengorganisasian kegiatan di pura, persembahyangan, dan dharma wacana menunjukkan wacana-wacana dalam ranah agama bersih dari penyisipan unsur-unsur bahasa Indonesia. Bisa jadi, pengakuan responden di atas berkaitan dengan penggunaan bahasa Bali di luar peristiwa tutur pengorganisasian kegiatan di pura, persembahyangan, dan dharma wacana (kotbah), seperti dharma tula (diskusi agama), misalnya.
Fenomena pergeseran tidak hanya menimpa bahasa Bali, tetapi juga bahasa daerah lainnya di Indonesia, seperti bahasa Jawa dan bahasa Lampung. Dalam kasus bahasa Jawa, misalnya, Mustakim (1996) menemukan bahwa kalangan generasi muda Jawa perantauan di Jakarta kurang akarab atau kurang bersikap positif terhadap bahasa Jawa. Demikian juga halnya dengan generasi muda Jawa di Surabaya. Oetomo (dalam Mustakim, 1996), melalui penelitiannya di lingkungan perumahan KPR/BTN, menemukan gejala pergeseran pemakaian bahasa Jawa pada penghuninya yang kebanyakan merupakan pindahan dari daerah perkampungan ke tengah kota. Temuan Suparno (1996) melengkapi temuan ini. Ditemukan bahwa dalam keluarga muda Jawa, telah terjadi pergeseran yang sangat cepat dalam hal penggunaan bahasa Jawa oleh bahasa Indonesia. Dalam kasus bahasa Lampung, kondisinya lebih gawat. Gunarwan (dalam Purwo, 2000), melalui penelitian sosiolinguistiknya, mendapatkan bukti kuantitatif yang sangat meyakinkan bahwa bahasa Lampung dapat punah dalam perkiraan waktu 75-100 tahun lagi.
2.3 Pilihan Penyelamatan Bahasa Daerah
Dari temuan yang telah disebutkan di depan, yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya pergeseran penggunaan bahasa daerah pada ranah keluarga. Kekhawatiran itu muncul karena lingkungan keluarga merupakan lingkungan bahasa informal paling utama, tempat semestinya anak pertama kali dan dalam waktu yang paling lama memperoleh bahasa daerah. Di dalam keluargalah bisa terjadi transmisi bahasa lintas generasi yang berguna bagi pemertahanan bahasa daerah (Reyhner, 1999). Jika pergeseran itu terus-menerus terjadi, ke depan, penggunaan bahasa daerah di dalam keluarga semakin sulit untuk diharapkan menjadi penopang lestarinya bahasa daerah. Oleh karena itu, perlu dipikirkan cara lain untuk menciptakan lingkungan bahasa untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahannya. Cara itu adalah (1) mewajibkan penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sejak di taman kanak-kanak sampai dengan di kelas tiga sekolah dasar pada daerah-daerah yang dimungkinkan dan (2) mengajarkannya sebagai mata pelajaran dengan dengan pendekatan komunikatif.
2.3.1 Penggunaan Bahasa Daerah sebagai Bahasa Pengantar Pembelajaran
Ada beberapa alasan mengapa penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran ditawarkan. Alasan pertama berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendidikan dan kebudayaan termasuk bidang pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam bab IV, pasal 7 UU Nomor 22, Tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah disebutkan, “kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, militer dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain”. Bahkan, bidang pendidikan dan kebudayaan merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana disebutkan dalam pasal 11, ayat 2, bab IV UU itu. Dengan demikian, menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tidak begitu menjadi masalah bagi pemerintah daerah karena merupakan bagian dari kewenangannya. Dalam bab VII, UU Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 33, tentang bahasa pengantar disebutkan bahwa bahasa pengantar dalam pendidikan nasional adalah bahasa Indonesia (ayat 1); namun, bahasa daerah dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam tahap awal pendidikan apabila diperlukan dalam penyampaian pengetahuan dan/atau keterampilan tertentu (ayat 2).
Alasan kedua berkaitan dengan upaya “memaksa” orang tua untuk menggunakan bahasa daerah ketika berkomunikasi dengan anaknya di dalam keluarga/di rumah. Sementara ini, salah satu alasan para orang tua suku Bali menggunakan bahasa Bali yang diselipi unsur-unsur bahasa Indonesia, atau, bahkan bahasa Indonesia secara murni di rumah adalah agar anak-anak mereka bisa berbahasa Indonesia untuk kepentingan komunikasi dalam situasi tertentu (Sutama dan Suandi, 2000). Bisa jadi situasi tertentu yang dimaksud adalah pembelajaran di lembaga pendidikan yang memiliki kecenderungan kuat untuk menggunakan bahasa Indonesia sejak di taman kanak-kanak sebagai bahasa pengantarnya. Dugaan ini masuk akal karena siapa pun akan khawatir kalau anak-anaknya tidak bisa mengikuti kegiatan belajar di kelas karena tidak bisa menguasai bahasa pengantar yang digunakan. Oleh karena itu, penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran di kelas akan mendorong para orang tua untuk membiasakan anak-anak mereka berbahasa daerah di rumah sebelum memasuki dunia sekolah.
Alasan ketiga berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya teoretis. Peristiwa pembelajaran adalah suatu peristiwa interaksi yang, sekurang-kurangnya, berlangsung antara guru dan siswa. Interaksi, dalam hal ini, sudah pasti bermediakan bahasa. Jika bahasa daerah diwajibkan untuk dijadikan bahasa pengantar di dalam pembelajaran, tentu di dalam interaksi itu bahasa daerahlah yang digunakan. Ini berarti bahwa peristiwa pembelajaran menjadi kaya dengan lingkungan bahasa daerah informal yang sangat diperlukan dalam rangka anak memperoleh bahasa daerah itu. Sebagaimana dikatakan oleh Fishman (1996), sekolah merupakan tempat yang sangat penting bagi penggunaan beberapa aspek bahasa.
Tentang pentingnya interaksi dalam pemerolehan bahasa dikemukakan oleh Ellis (1990). Dikatakan bahwa interaksi dapat dihipotesiskan berkontribusi pada pemerolehan bahasa melalui dua cara. Pertama, melalui resepsi dan pemahaman anak atas bahasa yang digunakan oleh guru. Teori belajar bahasa berdasarkan resepsi sangat menekankan pentingnya input. Hipotesis frekuensi menyatakan bahwa anak memperoleh ciri-ciri linguistik sesuai dengan frekuensinya sebagai input. Semakin sering suatu ciri linguistik didengar oleh anak, semakin cepat ciri itu dikuasai oleh anak. Kedua, melalui upaya anak memproduksi bahasa itu di dalam peristiwa pembelajaran. Swain (dalam Ellis, 1990) mengajukan hiotesis output. Hipotesis ini menyatakan bahwa anak memerlukan kesempatan untuk memproduksi bahasa dalam rangka mengembangkan tingkat profisiensi gramatikanya. Hal ini ternyata didukung oleh Ellis. Menurut Ellis (1990), output sangat penting bagi terjadinya pemerolehan bahasa. Dengan demikian, jika bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar di dalam pembelajaran, niscaya penguasaan bahasa daerah oleh anak akan dapat ditingkatkan.
Ada contoh tentang keberhasilan strategi pemertahanan bahasa daerah melalui penggunaannya di dalam pengajaran bidang studi. Contoh itu adalah yang dilakukan oleh The Rock Point Community School dalam pemertahanan bahasa Navajo (Reyhner, 1999). Di situ, dua per tiga dari aktivitas “belajar” di TK dan setengah aktivitas belajar di kelas I sampai dengan kelas III menggunakan bahasa Navajo sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Sementara, dari kelas IV sampai dengan kelas XII bahasa Navajo hanya digunakan dalam seperlima sampai seperempat waktu pembelajaran.
2.3.2 Pengajaran Bahasa Daerah dengan Pendekatan Komunikatif
Pengajaran bahasa, sebagaimana pengajaran pada umumnya, berkaitan dengan banyak aspek, seperti: hakikat dan fungsi hal yang diajarkan, tujuan pengajaran, pemilihan dan pengembangan bahan pengajaran, penciptaan pengalaman belajar, media dan sumber belajar, dan model penilaian. Pendekatan komunikatif memiliki prinsip berikut ini tentang semua itu (Suyono dan Muslikh, 1996). Bahasa adalah alat untuk menyampaikan pesan atau alat komunikasi yang memiliki banyak variasi. Tujuan pengajaran bahasa adalah menumbuhkan performansi komunikatif yang handal, sesuai dengan kebutuhan komunikasi yang dimiliki oleh siswa. Untuk menumbuhkan hal itu, diperlukan bahan yang merupakan wacana otentik. Pemilihan dan pengembangan bahan itu perlu disertai dengan penciptaan pengalaman belajar yang, memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat dalam peristiwa berbahasa yang bermakna, (2) menggunakan bahasa secara aktual, dan (3) memungkinkan siswa memanfaatkan berbagai ragam bahasa. Pengalaman belajar yang diciptakan itu perlu didukung dengan media dan sumber belajar yang (1) memberikan pengalaman langsung kepada siswa untuk belajar berbahasa, (2) berupa fakta atau peristiwa berbahasa yang aktual, (3) sesuai dengan kemungkinan tuntutan berbahasa siswa, dan (4) bervariasi baik wujud maupun ragamnya. Akhirnya, pelaksanaan pembelajaran perlu dievaluasi dengan model evaluasi yang (1) dapat mengukur secara langsung kemahiran berbahasa siswa, (2) mendorong siswa aktif berlatih berbahasa, dan (3) merangsang secara terus-menerus teraktualisasikannya performansi komunikatif.
Dengan sejumlah prinsipnya, penerapan pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa daerah akan membawa akibat seperti berikut ini. Bahasa daerah akan dipandang sebagai sistem penyampai pesan yang memiliki fungsi komunikatif. Berkaitan dengan hal itu, keberadaan bahasa daerah dengan berbagai variasi ragamnya akan dihormati di dalam pengajaran dan orientasi pengajarannya akan menjadi lebih pada fungsi komunikasi daripada pada bentuk dan struktur. Pengajaran bahasa daerah akan diarahkan menuju ke pemilikan performansi komunikatif oleh siswa yang dilandasi oleh pemilikan kompetensi komunikatif. Untuk mencapai tujuan itu, dalam pengajaran bahasa daerah akan digunakan bahan-bahan pengajaran yang berupa wacana otentik, sehingga mampu mendukung terwujudnya performansi komunikatif pada diri siswa. Di samping itu, akan dipilih juga media pengajaran yang sejalan dengan bahan pengajaran yang ditetapkan untuk mendukung penciptaan pengalaman belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk (1) terlibat dalam peristiwa berbahasa daerah yang bermakna dan (2) menggunakan bahasa daerah dengan berbagai ragamnya secara aktual. Dalam mengevaluasi pengajarannya, di dalam pengajaran bahasa daerah akan dilakukan pengukuran langsung terhadap kemahiran siswa berbahasa daerah sehingga mereka terdorong untuk berlatih menggunakan bahasa daerah secara lisan maupun tertulis. Hal ini dengan sendirinya akan merangsang siswa secara terus-menerus mengaktualisasikan performansi komunikatifnya dalam bahasa daerah. Akhirnya, jika bahasa daerah diajarkan dengan menerapkan pendekatan komunikatif, lingkungan baru pemakaian bahasa daerah akan tercipta sebagai pelengkap atau pengganti lingkungan pemakaian bahasa daerah di dalam keluarga yang secara terus-menerus mengalami penyusutan. Menurut Anonby (1999), immersion language teaching environments merupakan satu dari lima karakteristik penting upaya pemertahanan bahasa yang berhasil, sebagaimana terbukti pada pendidikan prasekolah di New Zealand.
3. PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, simpulan dapat ditarik. Dengan mencermati teori pemerolehan bahasa, melihat situasi pemakaian bahasa daerah di Indonesia dewasa ini, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pilihan yang ada untuk menyelamatkan bahasa daerah dari kepunahannya adalah berikut ini. Pertama, menggunakannya sebagai bahasa pengantar, sekurang-kurangnya, mulai dari jenjang taman kanak-kanak sampai dengan sekolah dasar kelas tiga. Untuk mengemban tugas itu, pengembangan bahasa daerah merupakan sesuatu yang harus dilakukan.
Kedua, mengajarkannya dengan pendekatan komunikatif. Untuk melakukan hal ini, beberapa hal perlu dicermati. Karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk pengajaran bahasa daerah ( dua sampai tiga jam pelajaran seminggu), perlu ditetapkan fokus pengajaran. Saran penulis adalah, pengajaran bahasa daerah difokuskan pada penumbuhan keterampilan berbicara dan membaca dengan alasan berikut ini. Pertama, di dalam aktivitas berbicara, dengan sendirinya akan ada aktivitas menyimak. Kedua, bertolak dari salah satu teori pemerolehan bahasa, aktivitas berbahasa reseptif akan mendorong tumbuhnya kemampuan berbahasa produktif secara alami: aktivitas membaca yang tinggi akan menumbuhkan kemampuan menulis karena, selama membaca, secara sadar atau tidak, pembaca juga mengidentifikasi karakteristik wacana tulis yang mereka hadapi (Squire, 1989). Karena banyak guru yang mengasuh pelajaran bahasa daerah bukan berlatar belakang pendidikan bahasa daerah, perlu dilakukan upaya peningkatan mutu guru bahasa daerah yang telah ada dan pengembangan jurusan pendidikan bahasa daerah pada daerah-daerah yang belum memilikinya untuk menghasilkan guru mata pelajaran bahasa daerah melalui pendidikan formal. Menurut survei The Assembly of First Nation (AFN) tahun 1990 (Burnaby, 1996), kekurangan guru terlatih merupakan salah satu masalah besar dalam pengajaran bahasa daerah (aboriginal language).
DAFTAR PUSTAKA
- Anonby, Stan J. 1999. “ Reversing Language Shift: Can Kwak’wala Be Revived” dalam Reyhner, Jon dkk. (Ed.). Revitalizing Indigenous Languages. Flagstaff, AZ: Northern Arizona University.
- Burnaby, Barbara. 1996. “Aboriginal Language Maintenance, Development, and Enhancemnet” dalam Cantoni, G. Stabilizing Indigenous Languages. Flagstaff: Center for Exellence in Education, Northern Arizona University.
- Dulay, Heidi , Burt, Merina, dan Krashen, Stephen. 1982. Language Two. Oxford: Oxford University Press.
- Ellis, Rod. 1986. Understanding Second Language Acquisition. Oxford: Oxford University Press.
- Ellis, Rod. 1990. Instructed Second Language Acquisition: Learning in the Classroom. Oxford: Basil Blackwell.
- Fishman, Joshua. 1996. “What Do You Lose When You Lose Your Language?” dalam Cantoni, G. Stabilizing Indigenous Languages. Flagstaff: Center for Exellence in Education, Northern Arizona University.
- Halim, Amran. 1981. “Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia.” dalam Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Politik Bahasa Nasional. Jakarta: PN Balai Pustaka.
- Huda, Nuril. 1999. Language Learnig and Teaching: Issues and Trends. Malang: Penerbit IKIP Malang.
- Mustakim. 1996. Sikap Bahasa Kalangan Generasi Muda Jawa Perantauan terhadap Bahasa Daerahnya (Makalah Disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa II).
- Purwo, Bambang Kaswanti. 2000. Bangkitnya Kebinekaan: Dunia Linguistik dan Pendidikan (Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar). Jakarta: Mega Media Abadi.
- Sarad. 2001. 14 Februari. Keluh Sunyi Bahasa Bali. Hlm. 11—14.
- Suparno. 1996. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Keluarga Muda Etnis Jawa (Makalah Disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa II).
- Sutama, I Made dan Suandi I Nengah. 2001. Loyalitas-Bahasa Penutur Bahasa Bali terhadap Bahasanya. Laporan Penelitian tidak Diterbitkan.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Surabaya: Diperbanyak oleh Karya Anda.
sumber: www.undiksha.ac.id
itulah tadi posting tentang contoh makalah bahasa daerah yang membahas tentang Menyelamatkan Bahasa Daerah Melalui Pengajaran. semoga bermanfaat