Makalah Bahasa Indonesia - Selamat datang di blog Kumpulan Contoh Makalah Mahasiswa dan salam kenal bagi para pengunjung baru yang sudah menyempatkan diri mampir di ini blog yang sederhana. Untuk kesempatan kali ini kami akan berbagi posting tentang Contoh Makalah Bahasa Indonesia tentang Struktur Morfologis Bahasa Gaul “Paragram”. Bilamana masih ada waktu luang sobat juga bisa membaca posting terdahulu yang membahas tentang "Penulisan dan Contoh Daftar Isi Makalah".
A. Latar Belakang
Manusia hidup tidak statis tapi dinamis. Begitupun dalam hal berbahasa. Berbicara tentang masalah kedinamisan bahasa, dapat dilihat banyak fenomena yang terjadi dalam hal kebahasaan di Indonesia. Pada dasarnya, kejadian itu memang bisa dimaklumi. Karena, salah satu sifat bahasa yang lain ialah arbitrer atau manasuka. Secara sepihak, sebuah kata tidak dapat dinyatakan salah atau benar. Misalnya, kata “gedang” dalam bahasa Sunda artinya pepaya, sedangkan dalam bahasa Jawa artinya pisang. Karena, setiap tempat atau wilayah mempunyai sistem bahasa masing-masing yang terkadang berbeda.
Arbitrerisasi sebagai salah satu sifat bahasa memiliki dampak dalam kebahasaan di Indonesia. Dengan keadaan manasuka itulah bahasa Indonesia semakin beragam sesuai dengan ragam masyarakat bahasa yang menuturkannya. Saat ini muncul beragam fenomena bahasa gaul. Ragam bahasa gaul banyak dituturkan oleh remaja (anak muda) atau orang-orang yang terlibat dalam komunitas tertentu. Ragam bahasa gaul, mempunyai mempunyai beberapa fungsi yaitu: untuk mencapai keunikan atau kekhasan dalam bertutur, kepraktisan (tidak kaku) di dalam bertutur, atau agar bahasa tersebut hanya dapat dipahami oleh orang atau komunitas tertentu.
Bahasa gaul memiliki beberapa ragam. Di antaranya ialah kata gaul yang dibentuk dengan memelesetkan kata dan memiliki intonasi atau langgam yang khas seperti cape de(c)h menjadi cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb. Ada juga kata gaul yang dibentuk dengan cara pembalikan kata di dalam tuturan. Seperti kata “duit” menjadi “tiud”, “mobil” menjadi “libom”, “makan” menjadi “nakam”, “haus” menjadi “suah”, dsb. Dan, ada juga ragam bahasa gaul lainnya yang lebih rumit lagi. Di dalam linguistik terkenal dengan istilah parafasia yang menurut Harimurti dalam kamus linguistik, parafasia ialah cacat produksi bahasa yang terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari penukarannya dengan kata lain sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Maka, muncul orang-orang yang kreatif dengan cara menyusun kamus bahasa gaul.
Di dalam makalah ini, penulis akan mencoba menganalisis tentang salah satu ragam bahasa gaul yaitu bahasa gaul yang dibentuk melalui pemelesetan kata. Contohnya yaitu: Cape de(c)h yang dikembangkan menjadi berbagai bentuk seperti Cabe de(c)h, cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb., mene ke tehe yang dibentuk dari kata awal mana ku tahu, sutris yang dibentuk dari kata awal stres, dsb. Secara sekilas, kita melihat bahwa ragam jenis ini menghasilkan kata-kata unik dan kadang kita bertanya-tanya tentang arti dari kata baru itu yang tidak ada di dalam kamus. Namun, ternyata kalau dikaji lebih mendalam, ragam ‘bahasa aneh’ itu juga mempunyai pola.
Bahasa gaul memang unik dan menggelitik masyarakat bahasa khususnya anak muda untuk menuturkannya. Dengan prinsip “semakin unik semakin menarik”, bahasa gaul dapat menjadi virus yang sangat cepat menyebar dan negatifnya ialah kalau bahasa jenis itu sampai mengacaubalaukan standar bahasa Indonesia yang sesuai EYD. Tapi, lagi-lagi berbicara tentang arbitrerisasi bahasa. Bagaimanapun ‘anehnya’ bahasa jenis itu yang terkadang jauh dari konteks aslinya apalagi sering berbenturan dengan aturan EYD, bahasa jenis itu masih mempunyai banyak penutur yang meminati. Apalagi kalau ini sudah berkaitan dengan kreativitas.
B. Rumusan masalah
Di dalam makalah ini, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
“Manusia merupakan homo fabulans, homo ludens, dan homo symbolicum (makhluk bercerita, makhluk bermain, dan makhluk pencipta lambang) yang mengisyaratkan, bahkan mensyaratkan adanya tutur dalam kehidupan manusia.” (Djoko Saryono, 2006:13)
Salah satu potensi alamiah yang diberikan Tuhan kepada manusia ialah kemampuan manusia dalam berkomunikasi. Kemampuan ini terkait dengan peran manusia sebagai makhluk sosial yaitu manusia melakukan interaksi untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Untuk berinteraksi inilah manusia melakukan komunikasi. Dan, dalam berkomunikasi ini pula manusia menggunakan bahasa yang telah di sepakati.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia (Nugroho Trisnu Brata, duniaesai.com). Pada tahun 1928 bangsa Indonesia telah berikrar melalui pemuda- pemudinya bahwa bahasa Indonesia menjadi wujud pemersatu bangsa. Dan, bahasa Indonesia pun menjadi simbol nasionalisme yang akan semakin memperkokoh bangsa.
Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional sifatnya dinamis yaitu akan mengalami perubahan-perubahan entah itu perluasan atau penyempitan, atau bahkan timbul istilah-istilah baru. Tentang identitas ini, Nugroho (dalam duniaesai.com) juga menulis bahwa Identitas ini tidak stabil, selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi sehingga identitas selalu dinamis, berubah atau bahkan musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas.
Tentang fenomena dinamisasi bahasa dan keragamannya, Kridalaksana menyatakan “Dalam keadaannya sekarang ini bahasa Indonesia menumbuhkan varian-varian menurut pemakai yang disebut dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut ragam bahasa” (Harimurti Kridalaksana, 1996:2). Selain itu, dalam Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia, Kridalaksana menyatakan bahwa bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan bunyi mempunyai tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal.(Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Bahasa gaul termasuk ragam nonstandar. Dalam ragam ini dikenal beberapa istilah. Di antaranya ialah Parafasia (paraphasia) adalah cacat produksi bahasa yang terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari penukarannya dengan kata lain sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Selain itu ada pula yang disebut paragram. Paragram adalah permainan kata-kata dengan mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. (Harimurti Kridalaksana, 2001:154)
Di dalam fonologi ada beberapa istilah tentang penyisipan dan penghilangan bunyi atau huruf ke dalam kata yang dikenal sebagai “PEPASA”. Berikut ini ialah pengertiannya yang diambil dari glosari “Fonetik dan Fonologi” karya Yusuf suhendra dan Kamus Linguistik Karya Harimurti Kridalaksana.
D. Analisis Permasalahan
Berikut ialah analisis tentang salah satu ragam bahasa gaul yaitu bahasa gaul yang penciptaanya menggunakan proses kreatif memelesetkan kata atau mempermainkan kata dengan mengubah huruf (paragram). Sebelum masuk ke analisis contoh kata yang mengalami modifikasi kreatif, penulis akan mencoba menggambarkan dulu proses kreatifitas dalam penciptaan sebuah kata unik.
Proses kreatif dalam penciptaan bahasa atau kata baru
Implementasi dalam salah satu ragam bahasa gaul yaitu pemelesetan kata. Modifikasi bahasa gaul bisa disebabkan oleh adanya asosiasi yaitu menautkan antara satu hal dengan hal lainnya.
Contoh:
Uniknya bahasa gaul ialah bahasa jenis ini selalu diperbaharui dengan terus mencari-cari kata yang baru atau mengalami modifikasi yang beraneka ragam. Contohnya ialah kata gaul “Cape de(c)h” yang mengalami berbagai modifikasi.
Ket: (?) = memungkinkan masih adanya variasi baru
Jadi, proses kreatif itu bukan berbentuk lurus—input-process-output—melainkan berbentuk siklus yaitu input-process-output-input-process-output atau dengan kata lain yaitu saat terbentuknya hasil dari modifikasi kata, masih memungkinkan kata itu dimodifikasi lagi atau diperbaharui lagi begitu seterusnya dan bergerak sesuai dengan dinamisasi bahasa.
Apakah bahasa gaul ragam “pemelesetan kata” mempunyai pola yang menyusunnya?
“Bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan bagian dunia bunyi mempunyai tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal” (Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Dalam linguistik ada istilah yang disebut paragram yaitu permainan kata-kata dengan mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. Penulis akan mencoba menganalisis melalui beberapa contoh kata.
Cape de(c)h adalah kata nonstandar atau kata gaul yang mengalami berbagai modifikasi. Dilihat dari kata-kata di atas, kata-kata baru mempunyai pola pengucapan yang sama dengan kata awal. Jadi tak cocok kalau seandainya kata “Cakue de(c)h menggunakan pola pengucapan “mene ke tehe”. Pengucapan ‘cakue de(c)h’ tepatnya ya menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h.
Dalam modifikasi Cape de(c)h menjadi Cuape de(c)h ada penambahan bunyi baru yaitu [u]. Di dalam Fonologi, penambahan bunyi [u] disebut epentesis (epenthesis) yaitu penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata. Apakah penambahan bunyi [u] ini tetap dan menjadi pola pada kata lainnya? Dapat kita lihat dari hasil modifikasi bahwasannya hasil modifikasi berbeda-beda.
Cape de(c)h → Cabe de(c)h ------------- perubahan p menjadi b
Cape de(c)h → Cepe de(c)h ------------- perubahan a menjadi e
Cape de(c)h → Tape de(c)h ------------- perubahan c menjadi t
Contoh-contoh di atas seperti menunjukkan bahwa pola kata itu cukup ritmis yaitu mengubah satu bunyi dengan bunyi yang lainnya. Namun, bagaimana dengan kata di bawah ini?
Cape de(c)h → Cakue de(c)h --------- ?
Cape de(c)h → Capcay de(c)h -------- ?
Kata di atas terlihat sangat tidak beraturan. Kata cape menjadi cakue atau capcay. Pengubahannya sangatlah jauh sekali. Mungkin modifikasi itu lebih tepat apabila disebut penghilangan beberapa bunyi dan penambahan beberapa bunyi baru.
Cape de(c)h → Cakue de(c)h ----- penghilangan pe dan penambahan kue.
Cape de(c)h → Capcay de(c)h ----- penghilangan e dan penambahan cay.
Penulis kembali tegaskan bahwa meskipun kata-kata hasil modifikasi dari cape de(c)h tak beraturan atau memiliki pola yang tidak harmonis. Namun, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pola dalam pengucapan. Jadi, hasil modifikasi dari ‘cape de(c)h’ hanya tepat apabila menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h dan bukan pola pengucapan ‘meneketehe’. Modifikasi kata-kata itu banyak terjadi disebabkan oleh asosiasi. Bagaimanapun perubahan kata-kata tersebut, baik itu penambahan atau pengurangan, selama kata-kata hasil modifikasi itu enak dituturkan dan masih ada usaha untuk menautkan, maka kata itu pun akan digunakan oleh masyarakat bahasa yang menuturkaannya. Meskipun, sesungguhnya masyarakat tahu bahwa arti kata-kata yang dihasilkan pun berbeda. Cape berbeda dengan cabe, tape, capcay, atau cakue. Namun, orang tak menghiraukan itu. Yang orang pikirkan ialah enak tidaknya atau cocok tidaknya intonasi khas kata-kata tersebut saat dituturkan. Mungkin kata-kata yang dicontohkan tadi bisa dimasukkan ke dalam jenis paragram atau permainan kata.
Sebagai pembanding, penulis pun akan menganalisis pelesetan kata lainnya yang mengalami modifikasi.
Mana ku tahu dimodifikasi menjadi mene ke tehe memperlihatkan pola yang ritmis yaitu perubahan yang terjadi pada vokal di kata awal.’
Mana ku tahu ---------- Mene ke tehe
Vokal yang terdapat dalam ‘mana ku tahu’ diseragamkan menjadi bunyi vokal ‘e’. Pola yang ritmis dan memungkinkan adanya kreatifitas lain yaitu penggantian bunyi vokal dalam ‘mana ku tahu’ dengan bunyi vokal lainnya (a, i, u, o).
Mana ku tahu -------------- Mana ka taha
Mana ku tahu -------------- Mini ki tihi
Mana ku tahu -------------- Munu ku tuhu
Mana ku tahu -------------- Mono ko toho
Mungkinkah? Mungkin saja. Namun, belum ada penutur yang menggunakan modifikasi macam itu. Selain pola yang ritmis seperti itu, adakah modifikasi lain yang terbentuk dan nampak tak beraturan?
Mana ku tahu ---------- mene ke teng-teng (meneketengteng). Dari kata awal mana ku tahu kemudian menjadi mene ke teng-teng tidak ritmis, berbeda dengan kata-kata sebelumnya. Namun, kalau mencoba mengamati lebih jauh, ‘mene ke teng-teng’ mengalami dua kali modifikasi. Yang pertama ialah berubahnya mana ku tahu menjadi mene ke tehe kemudian diubah lagi menjadi mene ke teng-teng.
Terlepas dari harmonis tidaknya pola yang terbentuk di dalam ragam bahasa gaul, ini merupakan ‘rasa’ sang penutur. Jadi, mungkinkah akan ada lagi kreasi lainnya yang meskipun tak memiliki pola yang harmonis? Mungkin saja. Selama ada penutur yang menciptakan kreasi baru. Dan, selama ide-ide kreatif terus bermunculan.
Seperti dua kata sebelumnya, OK (Oke) juga mengalami modifikasi Meskipun tidak mempunyai pola yang teratur dan terlihat tidak harmonis, kata-kata hasil modifikasi ‘oke’ mempunyai intonasi khas saat dituturkan. Dan, lagi-lagi ini merupakan persoalan ‘rasa’ di dalam tuturan.
Stres merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa ingris yaitu ‘stress’. Di dalam kamus, stress adalah “ 1. ketegangan...2. tekanan...” (John M. Echols dan Hassan Shadily, 2005: 561). Bagaimana dengan arti setelah mengalami modifikasi? Mengenai arti dari kata-kata yang telah mengalami modifikasi, kata-kata itu tidak dapat ditemukan di dalam kamus. Karena, kata-kata tersebut baru dan termasuk ragam bahasa nonstandar.
Stres ------- sutris
Kata stres terdiri dari satu suku kata (syllable) yaitu stres sedangkan sutris terdiri dari dua suku kata yaitu su-tris. Kalau dilihat dari jumlah hurup dalam satu kata, perubahan terjadi dengan penambahan hurup vokal u dan penggantian vokal e menjadi i. Maka, jadilah stres menjadi sutris. Dan, masih memungkinkan munculnya variasi-variasi baru.
E. Simpulan
Manusia adalah makhluk bercerita dan makhluk pencipta lambang. Jadi, manusia adalah subyek yang melakukan proses penciptaan bahasa.
Dinamisasi dan arbitrerisasi bahasa memungkinkan munculnya keragaman bahasa atau modifikasi bahasa.
Meskipun ‘kata-kata’ yang mengalami modifikasi itu tidak ada di dalam kamus, penutur sangat senang menggunakannya sehingga itu menjadi sebuah pembiasaan dan menganggap kata awal dan kata hasil modifikasi sama saja artinya. Seperti kata sutris yang diartikan sama dengan stres, oceh disamakan dengan oke, capcay de(c)h yang disamakan dengan cape de(c)h, dsb.
Proses pembentukan kata-kata unik atau bahasa gaul akan terus berlangsung dan prosesnya seperti siklus yaitu input-process-output-input-process-output dan seterusnya. Hal itu karena, manusia sebagai pencipta lambang akan terus berproses mencari sesuatu yang baru.
Pola yang dihasilkan dari modifikasi kata gaul tidak begitu ritmis dan tidak harmonis. Karena, penciptaan kata itu pun tidak melihat aturan dan lebih mengandalkan ‘rasa’ atau kenyamanan saat dituturkan. Dan, ini juga berkaitan dengan ‘sense of unique’ yang ingin ditampilkan sang pencipta bahasa.
Kreativitas dalam penciptaan penciptaan bahasa baru masih memungkinkan untuk terus terjadi. Namun, kita pun tahu bahwa pemuda-pemuda Indonesia zaman dahulu telah berikrar melalui sumpah pemuda. Bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang disepakati sebagai bahasa pemersatu bangsa. Jadi, meskipun bahasa semakin beraneka ragam kita harus tetap menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Dan, harus cerdas dalam menggunakan ragam bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Struktur Morfologis Bahasa Gaul “Paragram”
Sri Maryani
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia
Fakultas Pendidikan Bahasa Dan Seni
Universitas Pendidikan Indonesia
A. Latar Belakang
Manusia hidup tidak statis tapi dinamis. Begitupun dalam hal berbahasa. Berbicara tentang masalah kedinamisan bahasa, dapat dilihat banyak fenomena yang terjadi dalam hal kebahasaan di Indonesia. Pada dasarnya, kejadian itu memang bisa dimaklumi. Karena, salah satu sifat bahasa yang lain ialah arbitrer atau manasuka. Secara sepihak, sebuah kata tidak dapat dinyatakan salah atau benar. Misalnya, kata “gedang” dalam bahasa Sunda artinya pepaya, sedangkan dalam bahasa Jawa artinya pisang. Karena, setiap tempat atau wilayah mempunyai sistem bahasa masing-masing yang terkadang berbeda.
Arbitrerisasi sebagai salah satu sifat bahasa memiliki dampak dalam kebahasaan di Indonesia. Dengan keadaan manasuka itulah bahasa Indonesia semakin beragam sesuai dengan ragam masyarakat bahasa yang menuturkannya. Saat ini muncul beragam fenomena bahasa gaul. Ragam bahasa gaul banyak dituturkan oleh remaja (anak muda) atau orang-orang yang terlibat dalam komunitas tertentu. Ragam bahasa gaul, mempunyai mempunyai beberapa fungsi yaitu: untuk mencapai keunikan atau kekhasan dalam bertutur, kepraktisan (tidak kaku) di dalam bertutur, atau agar bahasa tersebut hanya dapat dipahami oleh orang atau komunitas tertentu.
Bahasa gaul memiliki beberapa ragam. Di antaranya ialah kata gaul yang dibentuk dengan memelesetkan kata dan memiliki intonasi atau langgam yang khas seperti cape de(c)h menjadi cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb. Ada juga kata gaul yang dibentuk dengan cara pembalikan kata di dalam tuturan. Seperti kata “duit” menjadi “tiud”, “mobil” menjadi “libom”, “makan” menjadi “nakam”, “haus” menjadi “suah”, dsb. Dan, ada juga ragam bahasa gaul lainnya yang lebih rumit lagi. Di dalam linguistik terkenal dengan istilah parafasia yang menurut Harimurti dalam kamus linguistik, parafasia ialah cacat produksi bahasa yang terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari penukarannya dengan kata lain sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Maka, muncul orang-orang yang kreatif dengan cara menyusun kamus bahasa gaul.
Di dalam makalah ini, penulis akan mencoba menganalisis tentang salah satu ragam bahasa gaul yaitu bahasa gaul yang dibentuk melalui pemelesetan kata. Contohnya yaitu: Cape de(c)h yang dikembangkan menjadi berbagai bentuk seperti Cabe de(c)h, cuape de(c)h, capcay de(c)h, dsb., mene ke tehe yang dibentuk dari kata awal mana ku tahu, sutris yang dibentuk dari kata awal stres, dsb. Secara sekilas, kita melihat bahwa ragam jenis ini menghasilkan kata-kata unik dan kadang kita bertanya-tanya tentang arti dari kata baru itu yang tidak ada di dalam kamus. Namun, ternyata kalau dikaji lebih mendalam, ragam ‘bahasa aneh’ itu juga mempunyai pola.
Bahasa gaul memang unik dan menggelitik masyarakat bahasa khususnya anak muda untuk menuturkannya. Dengan prinsip “semakin unik semakin menarik”, bahasa gaul dapat menjadi virus yang sangat cepat menyebar dan negatifnya ialah kalau bahasa jenis itu sampai mengacaubalaukan standar bahasa Indonesia yang sesuai EYD. Tapi, lagi-lagi berbicara tentang arbitrerisasi bahasa. Bagaimanapun ‘anehnya’ bahasa jenis itu yang terkadang jauh dari konteks aslinya apalagi sering berbenturan dengan aturan EYD, bahasa jenis itu masih mempunyai banyak penutur yang meminati. Apalagi kalau ini sudah berkaitan dengan kreativitas.
B. Rumusan masalah
Di dalam makalah ini, penulis merumuskan beberapa rumusan masalah yaitu:
- Apakah arti dari kata-kata gaul atau kata yang dimodifikasi terdapat di dalam kamus?
- Apakah ragam bahasa gaul mempunyai pola sama seperti bahasa standar EYD yang mempunyai pola?
- Apakah bahasa gaul atau kata yang dimodifikasi mempunyai pola yang ritmis?
“Manusia merupakan homo fabulans, homo ludens, dan homo symbolicum (makhluk bercerita, makhluk bermain, dan makhluk pencipta lambang) yang mengisyaratkan, bahkan mensyaratkan adanya tutur dalam kehidupan manusia.” (Djoko Saryono, 2006:13)
Salah satu potensi alamiah yang diberikan Tuhan kepada manusia ialah kemampuan manusia dalam berkomunikasi. Kemampuan ini terkait dengan peran manusia sebagai makhluk sosial yaitu manusia melakukan interaksi untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Untuk berinteraksi inilah manusia melakukan komunikasi. Dan, dalam berkomunikasi ini pula manusia menggunakan bahasa yang telah di sepakati.
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa persatuan, sekaligus menjadi identitas bangsa Indonesia (Nugroho Trisnu Brata, duniaesai.com). Pada tahun 1928 bangsa Indonesia telah berikrar melalui pemuda- pemudinya bahwa bahasa Indonesia menjadi wujud pemersatu bangsa. Dan, bahasa Indonesia pun menjadi simbol nasionalisme yang akan semakin memperkokoh bangsa.
Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional sifatnya dinamis yaitu akan mengalami perubahan-perubahan entah itu perluasan atau penyempitan, atau bahkan timbul istilah-istilah baru. Tentang identitas ini, Nugroho (dalam duniaesai.com) juga menulis bahwa Identitas ini tidak stabil, selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi sehingga identitas selalu dinamis, berubah atau bahkan musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas.
Tentang fenomena dinamisasi bahasa dan keragamannya, Kridalaksana menyatakan “Dalam keadaannya sekarang ini bahasa Indonesia menumbuhkan varian-varian menurut pemakai yang disebut dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut ragam bahasa” (Harimurti Kridalaksana, 1996:2). Selain itu, dalam Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia, Kridalaksana menyatakan bahwa bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan bunyi mempunyai tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal.(Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Bahasa gaul termasuk ragam nonstandar. Dalam ragam ini dikenal beberapa istilah. Di antaranya ialah Parafasia (paraphasia) adalah cacat produksi bahasa yang terlihat dari pengacauan bentuk kata atau dari penukarannya dengan kata lain sehingga maknanya tidak dapat dipahami. Selain itu ada pula yang disebut paragram. Paragram adalah permainan kata-kata dengan mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. (Harimurti Kridalaksana, 2001:154)
Di dalam fonologi ada beberapa istilah tentang penyisipan dan penghilangan bunyi atau huruf ke dalam kata yang dikenal sebagai “PEPASA”. Berikut ini ialah pengertiannya yang diambil dari glosari “Fonetik dan Fonologi” karya Yusuf suhendra dan Kamus Linguistik Karya Harimurti Kridalaksana.
- Protesis (prothesis, prosthesis): Penambahan vocal atau konsonan pada awal kata untuk memudahkan pelafalan.
- Epentesis (Epenthesis): Penyisipan bunyiatau huruf ke dalam kata, terutamakata pinjaman untuk menyesuaikan dengan pola fonologis bahasa peminjam; mis. Penyisipan/ e/ dalam kelas.
- Paragog (Paragogue): Penambahanbunyi pada akhir kata untuk keindahan bunyi atau kemudahan lafal; mis. Penambahan bunyi [u] pada lampu.
- Aferesis (aphaeresih): Penanggalan bunyi atau kata dari awal sebuah ujaran; mis. Selamat pagi! Menjadi pagi!
- Sinkope (syncope): Hilangnya bunyi atau hurufdari tengah-tengah kata; mis. Latin domina menjadi Spanyol donna.
- Apokope: Pemenggalan satu bunyi atau lebih di akhir kata.
D. Analisis Permasalahan
Berikut ialah analisis tentang salah satu ragam bahasa gaul yaitu bahasa gaul yang penciptaanya menggunakan proses kreatif memelesetkan kata atau mempermainkan kata dengan mengubah huruf (paragram). Sebelum masuk ke analisis contoh kata yang mengalami modifikasi kreatif, penulis akan mencoba menggambarkan dulu proses kreatifitas dalam penciptaan sebuah kata unik.
Proses kreatif dalam penciptaan bahasa atau kata baru
Implementasi dalam salah satu ragam bahasa gaul yaitu pemelesetan kata. Modifikasi bahasa gaul bisa disebabkan oleh adanya asosiasi yaitu menautkan antara satu hal dengan hal lainnya.
Contoh:
Uniknya bahasa gaul ialah bahasa jenis ini selalu diperbaharui dengan terus mencari-cari kata yang baru atau mengalami modifikasi yang beraneka ragam. Contohnya ialah kata gaul “Cape de(c)h” yang mengalami berbagai modifikasi.
Ket: (?) = memungkinkan masih adanya variasi baru
Jadi, proses kreatif itu bukan berbentuk lurus—input-process-output—melainkan berbentuk siklus yaitu input-process-output-input-process-output atau dengan kata lain yaitu saat terbentuknya hasil dari modifikasi kata, masih memungkinkan kata itu dimodifikasi lagi atau diperbaharui lagi begitu seterusnya dan bergerak sesuai dengan dinamisasi bahasa.
Apakah bahasa gaul ragam “pemelesetan kata” mempunyai pola yang menyusunnya?
“Bahasa sebagai fenomena yang memadukan bagian dunia makna dan bagian dunia bunyi mempunyai tiga subsistem, yaitu subsistem fonologis, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikal” (Harimurti Kridalaksana, 1996:5).
Dalam linguistik ada istilah yang disebut paragram yaitu permainan kata-kata dengan mengubah hurup, umpamanya di dalam humor. Penulis akan mencoba menganalisis melalui beberapa contoh kata.
Cape de(c)h adalah kata nonstandar atau kata gaul yang mengalami berbagai modifikasi. Dilihat dari kata-kata di atas, kata-kata baru mempunyai pola pengucapan yang sama dengan kata awal. Jadi tak cocok kalau seandainya kata “Cakue de(c)h menggunakan pola pengucapan “mene ke tehe”. Pengucapan ‘cakue de(c)h’ tepatnya ya menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h.
Dalam modifikasi Cape de(c)h menjadi Cuape de(c)h ada penambahan bunyi baru yaitu [u]. Di dalam Fonologi, penambahan bunyi [u] disebut epentesis (epenthesis) yaitu penyisipan bunyi atau huruf ke dalam kata. Apakah penambahan bunyi [u] ini tetap dan menjadi pola pada kata lainnya? Dapat kita lihat dari hasil modifikasi bahwasannya hasil modifikasi berbeda-beda.
Cape de(c)h → Cabe de(c)h ------------- perubahan p menjadi b
Cape de(c)h → Cepe de(c)h ------------- perubahan a menjadi e
Cape de(c)h → Tape de(c)h ------------- perubahan c menjadi t
Contoh-contoh di atas seperti menunjukkan bahwa pola kata itu cukup ritmis yaitu mengubah satu bunyi dengan bunyi yang lainnya. Namun, bagaimana dengan kata di bawah ini?
Cape de(c)h → Cakue de(c)h --------- ?
Cape de(c)h → Capcay de(c)h -------- ?
Kata di atas terlihat sangat tidak beraturan. Kata cape menjadi cakue atau capcay. Pengubahannya sangatlah jauh sekali. Mungkin modifikasi itu lebih tepat apabila disebut penghilangan beberapa bunyi dan penambahan beberapa bunyi baru.
Cape de(c)h → Cakue de(c)h ----- penghilangan pe dan penambahan kue.
Cape de(c)h → Capcay de(c)h ----- penghilangan e dan penambahan cay.
Penulis kembali tegaskan bahwa meskipun kata-kata hasil modifikasi dari cape de(c)h tak beraturan atau memiliki pola yang tidak harmonis. Namun, kata-kata tersebut mempunyai kesamaan pola dalam pengucapan. Jadi, hasil modifikasi dari ‘cape de(c)h’ hanya tepat apabila menggunakan pola pengucapan ‘cape de(c)h dan bukan pola pengucapan ‘meneketehe’. Modifikasi kata-kata itu banyak terjadi disebabkan oleh asosiasi. Bagaimanapun perubahan kata-kata tersebut, baik itu penambahan atau pengurangan, selama kata-kata hasil modifikasi itu enak dituturkan dan masih ada usaha untuk menautkan, maka kata itu pun akan digunakan oleh masyarakat bahasa yang menuturkaannya. Meskipun, sesungguhnya masyarakat tahu bahwa arti kata-kata yang dihasilkan pun berbeda. Cape berbeda dengan cabe, tape, capcay, atau cakue. Namun, orang tak menghiraukan itu. Yang orang pikirkan ialah enak tidaknya atau cocok tidaknya intonasi khas kata-kata tersebut saat dituturkan. Mungkin kata-kata yang dicontohkan tadi bisa dimasukkan ke dalam jenis paragram atau permainan kata.
Sebagai pembanding, penulis pun akan menganalisis pelesetan kata lainnya yang mengalami modifikasi.
Mana ku tahu dimodifikasi menjadi mene ke tehe memperlihatkan pola yang ritmis yaitu perubahan yang terjadi pada vokal di kata awal.’
Mana ku tahu ---------- Mene ke tehe
Vokal yang terdapat dalam ‘mana ku tahu’ diseragamkan menjadi bunyi vokal ‘e’. Pola yang ritmis dan memungkinkan adanya kreatifitas lain yaitu penggantian bunyi vokal dalam ‘mana ku tahu’ dengan bunyi vokal lainnya (a, i, u, o).
Mana ku tahu -------------- Mana ka taha
Mana ku tahu -------------- Mini ki tihi
Mana ku tahu -------------- Munu ku tuhu
Mana ku tahu -------------- Mono ko toho
Mungkinkah? Mungkin saja. Namun, belum ada penutur yang menggunakan modifikasi macam itu. Selain pola yang ritmis seperti itu, adakah modifikasi lain yang terbentuk dan nampak tak beraturan?
Mana ku tahu ---------- mene ke teng-teng (meneketengteng). Dari kata awal mana ku tahu kemudian menjadi mene ke teng-teng tidak ritmis, berbeda dengan kata-kata sebelumnya. Namun, kalau mencoba mengamati lebih jauh, ‘mene ke teng-teng’ mengalami dua kali modifikasi. Yang pertama ialah berubahnya mana ku tahu menjadi mene ke tehe kemudian diubah lagi menjadi mene ke teng-teng.
Terlepas dari harmonis tidaknya pola yang terbentuk di dalam ragam bahasa gaul, ini merupakan ‘rasa’ sang penutur. Jadi, mungkinkah akan ada lagi kreasi lainnya yang meskipun tak memiliki pola yang harmonis? Mungkin saja. Selama ada penutur yang menciptakan kreasi baru. Dan, selama ide-ide kreatif terus bermunculan.
Seperti dua kata sebelumnya, OK (Oke) juga mengalami modifikasi Meskipun tidak mempunyai pola yang teratur dan terlihat tidak harmonis, kata-kata hasil modifikasi ‘oke’ mempunyai intonasi khas saat dituturkan. Dan, lagi-lagi ini merupakan persoalan ‘rasa’ di dalam tuturan.
- Oke ------- Okeh. Penambahan bunyi konsonan [h] di akhir kata pada suku kata ke dua (paragog)
- Oke ------ Oceh. Penyisipan konsonan [c] (epentesis), penambahan [h] di akhir kata (paragog) dan penghilangan bunyi [k] dari tengah kata (sinkop) pada suku kata ke dua.
- Oke ----- Okay. Penyisipan bunyi vokal [a] di tengah kata (epentesis), Penambahan konsonan [y] di akhir kata (paragog), dan penghilangan vokal e (sinkop) pada suku kata ke dua.
- Oke ------ Otreh. penyisipan bunyi konsonan [t], [r] di tengah kata (epentesis), dan penambahan [h] pada akhir kata (paragog) pada suku kata ke dua
- Oke ------- Ocey. Penyisipan bunyi konsonan [c] di tengah kata (epentesis) dan [y] di akhir kata (paragog) pada suku kata ke dua.
Stres merupakan kata yang diadaptasi dari bahasa ingris yaitu ‘stress’. Di dalam kamus, stress adalah “ 1. ketegangan...2. tekanan...” (John M. Echols dan Hassan Shadily, 2005: 561). Bagaimana dengan arti setelah mengalami modifikasi? Mengenai arti dari kata-kata yang telah mengalami modifikasi, kata-kata itu tidak dapat ditemukan di dalam kamus. Karena, kata-kata tersebut baru dan termasuk ragam bahasa nonstandar.
Stres ------- sutris
Kata stres terdiri dari satu suku kata (syllable) yaitu stres sedangkan sutris terdiri dari dua suku kata yaitu su-tris. Kalau dilihat dari jumlah hurup dalam satu kata, perubahan terjadi dengan penambahan hurup vokal u dan penggantian vokal e menjadi i. Maka, jadilah stres menjadi sutris. Dan, masih memungkinkan munculnya variasi-variasi baru.
E. Simpulan
Manusia adalah makhluk bercerita dan makhluk pencipta lambang. Jadi, manusia adalah subyek yang melakukan proses penciptaan bahasa.
Dinamisasi dan arbitrerisasi bahasa memungkinkan munculnya keragaman bahasa atau modifikasi bahasa.
Meskipun ‘kata-kata’ yang mengalami modifikasi itu tidak ada di dalam kamus, penutur sangat senang menggunakannya sehingga itu menjadi sebuah pembiasaan dan menganggap kata awal dan kata hasil modifikasi sama saja artinya. Seperti kata sutris yang diartikan sama dengan stres, oceh disamakan dengan oke, capcay de(c)h yang disamakan dengan cape de(c)h, dsb.
Proses pembentukan kata-kata unik atau bahasa gaul akan terus berlangsung dan prosesnya seperti siklus yaitu input-process-output-input-process-output dan seterusnya. Hal itu karena, manusia sebagai pencipta lambang akan terus berproses mencari sesuatu yang baru.
Pola yang dihasilkan dari modifikasi kata gaul tidak begitu ritmis dan tidak harmonis. Karena, penciptaan kata itu pun tidak melihat aturan dan lebih mengandalkan ‘rasa’ atau kenyamanan saat dituturkan. Dan, ini juga berkaitan dengan ‘sense of unique’ yang ingin ditampilkan sang pencipta bahasa.
Kreativitas dalam penciptaan penciptaan bahasa baru masih memungkinkan untuk terus terjadi. Namun, kita pun tahu bahwa pemuda-pemuda Indonesia zaman dahulu telah berikrar melalui sumpah pemuda. Bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang disepakati sebagai bahasa pemersatu bangsa. Jadi, meskipun bahasa semakin beraneka ragam kita harus tetap menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Dan, harus cerdas dalam menggunakan ragam bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
- Alwi, Hasan, dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
- Apit (2006). Ketidaksadaran-akan-Sebuah-Kemurnian-bahasa-Indonesia. Tersaji dalam http://apit.wordpress.com [1 Juni 2008]
- Barata, Nugroho Trisnu.____ . Bahasa dan dinamika dalam Masyarakat. Tersaji dalam http://www.duniaesai.com/antro/antro2.html. [1 Juni 2008]
- Echols, John M. dan Hassan Shadily. 2005. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
- Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
- Saryono, Djoko. 2006. Pergumulan Estetika Sastra di Indonesia. Malang: Pustaka Kayutangan.
- Yusuf, suhendra. 1998. Fonetik dan Fonologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama