Contoh Makalah Pendidikan Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa

Bagikan pada teman :
Selamat datang di blog Kumpulan Contoh Makalah Mahasiswa. Pada kesempatan yang berbahagia ini kami akan berbagi wawasan melalui Contoh Makalah Pendidikan Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa yang disusun oleh Bapak Puruhito. Bila masih ada waktu luang sobat juga bisa membaca posting terdahulu yang membahas tentang "Contoh Makalah Makna Lambang Garuda Pancasila Dan Pembentukan Karakter Bangsa". Semoga bermanfaat.

Contoh Makalah Pendidikan Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa

PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA *

Oleh: Puruhito **

* Disampaikan pada Rapat Kerja Pimpinan Perguruan Tinggi Swasta (RAKERPIMKOP7) KOPERTIS-VII tanggal 9-10 Maret 2011, Batu-Malang, sebagai bahan pembekalan   

** Gurubesar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Anggota Majelis Pendidikan Tinggi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI

ABSTRAK

Sehari hari kita masih dipenuhi dengan berita tentang makin merambaknya berbagai gejala sosial yang salah: Kolusi, Korupsi, yang menjadi “budaya se hari-hari”, tatakrama dan perilaku yang tidak sesuai budaya yang kita yakini, maupun perilaku para pemimpin atau orang yang kita anggap dapat memimpin kita yang menjadi panutan kita. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan yang berakibat panutan yang salah dan diteruskan sebagai budaya untuk generasi penerus. Budaya yang disebutkan ini kemudian menjadi semacam “icon” dari bangsa ini, dan tercermin sebagai “karakter bangsa”.

Tata nilai manusia (baca: karakter !) bangsa Indonesia dikatakan makin berubah kearah yang tidak menentu: tidak mempunyai nilai-budaya lagi karena kurangnya pendidikan “budi-pekerti” sejak awal pendidikan dasar. Evaluasi terhadap “pendidikan di Indonesia” dikatakan oleh banyak pendapat, masih tertinggal dibandingkan negara negara tetangga kita sesama Asia. Ada rencana untuk maju, menambah dana untuk pendidikan dari alokasi Produk Domestik Bruto melalui APBN (sampai sejumlah 20%), termasuk bagaimana mendidik generasi yang akan datang. Mendidik dan memberi bantuan pendidikan, agar generasi penerus bangsa ini lebih terdidik, lebih pandai, lebih intelek, lebih tahu tatakrama dan bagaimana melaksanakan kewajiban bernegara dan berbangsa tersebut. Lebih tanggap dan mantap akan arti bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tidak lagi dijajah orang lain, dari segi dan bentuk apapun juga. Juga termasuk tidak mau lagi diatur oleh orang lain, sesuai dengan kalimat pada Mukkadimah UUD-45 lagi: “bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa......” Kesemuanya, sebagai pembentuk karakter bangsa ada ditangan dunia pendidikan, dimana para guru mendidik anak anak bangsa ini.

PENDAHULUAN
Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat heterogen, yang masih dalam tahap belajar untuk berdemokrasi. Karakter bangsa selayaknya bersumber pada nilai-nilai dan simbol kebangsaan yang kita miliki (1). Hal ini didasarkan pada fakta bahwa bangsa Indonesia adalah “bangsa yang besar” seperti yang sering kita dengan dan kita dengungkan dalam berbagai kesempatan. Fakta tersebut memang berdasarkan pada kenyataan, bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke-lima di dunia (setelah Cina, India, Rusia, Amerika Serikat) dan sejak tahun 1999 kita telah diklaim sebagai negara demokratis terbesar ketiga sesudah India dan Amerika Serikat. Selain itu, Indonesia adalah merupakan percontohan Negara Islam terbesar di dunia yang demokratis.

Suasana toleransi dan saling menghargai antar umat beragama sangat tinggi. Dapat dikatakan bahwa 90 persen dari jumlah penduduk Indonesia yang totalnya sebanyak 230,6 juta jiwa adalah muslim (1). Jumlah penduduk yang besar dapat merupakan potensi, sekaligus hambatan. Apabila penduduknya berkualitas semua maka bangsa tersebut jaya, meskipun tidak selalu menjadi negara yang “adidaya” tetapi merupakan bangsa yang mempunyai “karakter”.

Bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa dimana terdapat sifat “gotong royong” – saling membantu, dan hal ini memang tidak terdapat istilah yang setara dengan kata “gotong royong” dalam kosakata bahasa lain. Akan tetapi dalam kurun waktu kemajuan zaman dan pengarug global, sifat “gotong-royong” makin pudar dan diganti dengan sifat sifat “individualistik” serta “arogansi pribadi”. Apakah yang menyebabkan terjadinya perubahan “karakter bangsa” ini sehingga pada saat ini (tahun 2011) sering didengar bahwa bangsa Indonesia telah kehilangan karakater bangsanya? Memang banyak hal-hal yang mewarnai “karakter” ini bila kita cermati berbagai hal yang terkait budaya (“culture”) ataupun faktor faktor sosial lainnya maupun terkait faktor ekonomi bangsa.

Untuk itu, maka adalah tepat adanya “FORUM PEMULIHAN JATIDIRI BANGSA” atau “PELESTARIAN KARAKTER BANGSA” dapat diselenggarakan melalui pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia disemua strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa. Strategi umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian, penegasan kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa harus dicapai melalui pendidikan . Disamping melalui pendidikan formal oleh institusi pendidikan, pembangunan sumber daya manusia juga dapat dilaksanakan secara non formal. Disinilah peran pembinaan kesadaran bela negara kepada setiap warga juga menjadi semakin penting dilakukan melalui berbagai upaya internalisasi guna membangun karakter dan perkuatan jati diri bangsa, sehingga mampu mengaplikasikan nilai-nilai bela negara ke semua aspek kehidupan. (2) Dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang memiliki intelektualitas baik, pendidikan diperlukan agar sebuah bangsa dapat memiliki karakter dan jati dirinya, yaitu jatidiri ke-Indonesiaan, sehingga tercipta generasi penerus yang mampu mewujudkan bangsa dan negara ini menjadi negara yang maju, mandiri dan bermartabat. Karena inilah yang merupakan kekuatan pertahanan (soft power) bagi bangsa dan negara dalam menghadapi kompleksitas tantangan dan ancaman di era global. Derasnya arus informasi era global ini, tidak berarti suatu bangsa harus kehilangan kepribadian atau jati diri, akan tetapi justru pada era inilah sebuah bangsa harus mampu menunjukkan jati dirinya. Karena, bangsa yang malang akan kehilangan jati dirinya dan niscaya akan menjadi budak bangsa lain. Ia akan terpinggirkan dari peradaban sejarah dan selanjutnya bangsa itu akan punah. Akibat dari fenomena tersebut adalah terjadinya kemerosotan (”dekadensi”) moral dan etika, yang akan mewarnai perubahan karakter bangsa. Selanjutnya, Akibat dari kemerosotan ini adalah kehidupan bangsa mengalami sejumlah paradoks luar biasa: kita menikmati kebebasan dan demokrasi tetapi kita kehilangan identitas bersama. Kita mengalami kemanjuan pesat dalam pembangunan infrastruktur politik namun padas yang sama dasar-dasar kebersamaan sebagai bangsa jutsru semakin menipis, konflik kedaerahan, etnis dan agama meningkat dan tuntutan keadilan masih muncul di mana-mana. Reformasi kita rupanya sekaligus dibarengi dengan absenya pandangan kebangsaan (3).

PENDIDIKAN KARAKTER

Kebersamaan dan asas kekeluargaan (mutualism and brotherhood, atau ukhuwah) merupakan tuntutan paradigmatik, menjadi titik-tolak dan tuntunan hidup untuk melaksanakan dan mewujudkan misi-misi nasional kita, tugas nasional kita adalah "...Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa...". (op.cit (4)). Krisis ekonomi akan membawa kemelaratan dan bertambahnya kemiskinan, yang menyebabkan pula perubahan tatanilai dan moral suatu bangsa. Peranan pendidikan akan dapat mempengaruhi kokohnya keimanan dan secara tidak langsung juga moralitas dan karakter bangsa. Sistem ekonomi “kapitalistik” yang menjadi dasar dan bukan sistem ekonomi “kebersamaan” menjadikan salah satu sebab “keterpurukan ekonomi Indonesia”: banyak hutang, tidak mampu bayar hutang, terus minta hutang, dalam sebuah alam tanah air yang makmur sumberdaya dan makmur sumberalam. Analisis dari berbagai kejadian di negara dan bangsa ini dalam kancah internasional, serta bagaimana peran perguruan tinggi dalam menghadapi globalisasi dengan segala hiruk pikuk fenomena fenomena pada saat ini yang nampak dimata kita, mengharuskan kita memang melakukan “upaya pemulihan”, serta dapat menyatukan pendapat dengan konsep yang jelas akan kebutuhan nasional bangsa Indonesia (5).

Perlu disadari bahwa definisi pembangunan humanistik yang mulia adalah bahwa development is an expansion of people's capabilities and creativity, pembangunan adalah perluasan kemampuan dan kreativitas rakyat, sebagaimana ditegaskan oleh Nobel Laureate Amartya Sen (Sen, 1999). Pembangunan adalah perihal meningkatkan human capital (Hatta, 1967), yang kemudian secara keseluruhan membentukkan social capital bangsa, bahwa pembangunan haruslah berawal dari human investment agar bisa dengan lebih baik mengelola modal natural resources dan modal financial sebagai tuntutan riil dan empirik (4, 5). Hal inilah yang diperlukan bagi peranan pendidikan dalam membangun karakter bangsa, karena sumberdaya manusia inilah yang menjadi modal suatu bangsa untuk dapat terus maju dalam kancah persaingan global. Karakter ini akan membawa kekuatan menawar (“bargaining power”) sebagai ciri martabat bangsa yang akan mampu menjadi sisi yang berani menawar, bukan menjadi bagian yang dilecehkan.

Adanya kesan bahwa Indonesia menjadi “negara paling korup” menjadikan kita sering merasa sebagai bangsa yang termarjinalkan, yang menjadikan kita merasa “risi” dalam percaturan kehidupan internasional (6). Budaya adiluhung yang paling minimal, yang harus diemban oleh kaum intelektual umumnya, seperti berlaku jujur, berpegang teguh pada kebenaran, mencintai tanah air, patriotik dan melindungi segenap anak bangsa, sudah semakin tipis dalam percaturan kehidupan berbangsa, bernegara serta dalam berwacana akademik. Oleh karena itu korupsi pun menjadi-jadi makin marak, baik korupsi materi, korupsi waktu, korupsi kekuasaan, korupsi ideologis dan bahkan korupsi akademik (6). Apabila pendidikan nasional kita masih lemah dan tidak selamanya bisa mencukupi dan mumpuni, kepada pundak siapa lagi tugas nation and character building dan pengukuhan kebhinneka-tunggalikaan kita taruh harapan? Solusi untuk hal ini adalah:
  1. Pendidikan karakter bangsa harus segera dilaksanakan disemua jenjang pendidikan dari tingkat PAUD sampai pendidikan tinggi yang diintegrasikan ke dalam setiap mata pelajaran/ mata kuliah. Pendidikan karakter bangsa menjadi tanggung jawab setiap guru atau dosen dalam melaksanakan proses pembelajaran, baik kurikuler maupun ekstra kurikuler dengan melalui keteladanan baik dalam bersikap, berprilaku, maupun berbahasa. Pendidikan karakter di tingkat PAUD dan pendidikan dasar memegang peranan penting, karena merupakan pondasi dasar untuk penanaman keimanan, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur/ akhlakul karimah.
  2. Pendidikan karakter bangsa harus dimulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah/ kampus/ pesantren, dan masyarakat. Pendidikan karakter di lingkungan dan masyarakat sangat penting dan sangat membantu dan menentukan keberhasilan pendidikan karakter di sekolah/ kampus (7).

PENGEMBANGAN KARAKTER BANGSA

Yang diharapkan adalah bangsa Indonesia yang memiliki SDM-cinta tanah air, kesadaran berbangsa dan bernegara, Pancasilais, rela berkoban, memiliki kemampuan untuk dapat mampu menjaga:
  1. Ketahanan bangsa yang diperlukan menghadapi ancaman Nasional di Era Globalisasi
  2. Kualitas SDM (Agamis-Nasionalis) yang dibutuhkan NKRI yang sedang mengalami “perkembangan” peradaban dan memiliki jatidiri dan moral religius tangguh
  3. Kebersamaan, menjunjung tinggi azas keadilan & kesetaraan, memegang komitmen, konsisten penuh tanggung jawab
  4. Mengutamakan kepentingan nusa dan bangsa, berpandangan luas ke depan dan peka terhadap kondisi dan situasi dengan menghargai waktu, bijaksana dan santun dalam bertindak serta keterbukaan yang berkepribadian (1).
Yang kita saksikan sehari hari misalnya, siaran-siaran televisi kita pelit dengan acara yang mendorong produktivitas, kreativitas dan inovasi. Di Indonesia televisi selalu menayangkan “belilah dan makanlah”. Sebaliknya di Korea televisi mengajarkan cara menanam pohon yang baik, jadi mengajarkan untuk lebih produktif. Hampir tak ada di televisi kita yang mendidik dan memberi penerangan tentang mengolah bumi, air dan kekayaan alam dalam paket-paket serial, bagaimana mengajari masyarakat pemirsa untuk memelihara, tidak mencemari dan merusak tanah air kita. Sebenarnya kepada televisi kita ditaruh harapan bangsa ini untuk berperan sebagai “agent of modernization, agent of expansion of people's capability and creativity“. Dengan kata lain, di samping sebagai hiburan dan sumber pemberitaan umum, kepada televisi diharap berperan sebagai “, agent of enlightenment and empowerment “ bagi bangsa ini ke arah terbentuknya budaya entrepreneurial, yaitu bekerja keras, beretos kerja produktif untuk mengawali suatu transformasi budaya ke arah kedepan dan kemajuan (7).

Kondisi bangsa kita memang “sedang sakit”, banyak pemberitaan yang tidak seimbang, banyak berita terkait kejadian yang saling menghujat, membuka aib, saling menyalahkan, adanya tawuran, merebaknya Korupsi Kolusi Nepotisme, saling menyakiti, saling mencurigai dan lain-lain “dekadensi moral” telah merebak ke berbagai strata masyarakat. Oleh karena itu moral bangsa kita perlu ditata kembali, agar menuju ke arah “bangsa yang berbudaya” (8).

Di Perguruan Tinggi, Pendidikan S-2, apalagi S-3 di Indonesia, khusus-nya bidang ilmu-ilmu sosial , dengan kurikulum dan silabus jauh dari tuntutan kemutahiran dan kecanggihan, tidak jarang silabusnya hanyalah sekadar pernak-pernik ceramah tamu, serba sederhana dengan para dosen penceramahnya yang kurang memiliki kompetensi intelektual yang patut dibanggakan. Namun mereka mudah berani melahirkan lulusan-lulusan penyandang mediokritas akademis-ilmiah. Bangsa dilumpuhkan oleh Kurikulum pendidikan, dimana para siswa secara tidak langsung diarahkan untuk mempelajari mata pelajaran tertentu (matematika, bhs inggris, IPA) sehingga pengetahuannya tentang bangsa sendiri (geografis, sosial, budaya,sejarah) sangat minim. Nasionalisme dilumpuhkan dan dibuang, demi terciptanya “Negara tanpa Batas” yang fiktif. Krisis ekonomi sekarang ini terjadi juga krn adanya krisis budaya yg tidak mampu menggerakkan bangsa ini untuk menjadi bangsa yg mandiri. Oleh karena itu perlunya disusun strategi budaya untuk mengatasi masalah sosial kultural bangsa Indonesia. Masalah SDM sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan perlu ditumbuhkan SDM yang beretos kerja ”virtue” berkarya terbaik dengan kerjakeras, disiplin, mandiri, kreatif, inovatif, berkeimanan yang tinggi dan nasionalis (9).

Adapaun ciri-ciri negatif penghambat kemajuan karakter bangsa dari segi kajian ekonomis adalah antara lain:
  1. SDM masih malas, senang menikmati libur-libur panjang, manusia yang malas bukan lagi merupakan mitos tetapi sudah menjadi kenyataan
  2. Bangsa masih tetap “boros”, contoh konkrit: Masyarakat banyak yg terkena Syndrome kepapa’an/kemiskinan karena terlalu lama menderita, akibatnya sering berhutang untuk menutupi kebutuhannya. Change and Progress itu yang sebenarnya kita butuhkan
  3. Bangsa Kuli yang mudah tunduk pada bangsa lain. Pada masa orde baru, presiden Suharto diteror oleh para ekonom yang menghendaki dibukanya pasar bebas (paham liberalisme).Yang membuka kesempatan bagi para investor asing untuk mengembangkan seluas-luasnya bisnis di Indonesia. Efek negatif yang muncul bangsa kita semakin tertindas secara ekonomis oleh bangsa lain

PENGARUH GLOBALISASI PADA KARAKTER BANGSA

Saat ini, diera awal abad ke 21, Bangsa Indonesia diterpa issue terancam cerai-berai (disintegrasi) dalam berbagai aspek sosial, budaya, etnik, pendapat, partai, golongan, dan sebagainya, dan sebagainya. Tercerai berai, terpisah terkotak kotak ataupun kemudian menjadi mudah kembali dijajah dalam arti lain. Penjajahan dalam konteks globalisasi, oleh negara adi-kuasa / adi-jaya, yang merambah di Indonesia ke ranah ekonomi, aspek politik, aspek budaya, dalam rangka mensukseskan “program globalisasi” nya. Adanya kemajuan dalam bidang teknologi komunikasi menyebabkan terjadinya ”negara tanpa batas” yang memungkinkan arus informasi serta hubungan antar manusia melalui dunia maya yang dapat merubah ”ciri” atau karakter suatu bangsa, apabila bangsa tersebut tidak terdidik secara baik dalam penguatan karakternya. Pendidikan memang harus dapat membangun karakter bangsa, sehingga tidak mudah tercabik cabik oleh arus budaya asing yang dapat merubah struktur tatanilai.

Globalisasi telah menyebabkan bangsa Indonesia mulai “kehilangan jatidiri” nya atau secara umum “kehilangan karakter bangsa”. Sehingga sangat mudah dipengaruhi dan diombang-ambingkan oleh paham-paham asing yang belum tentu cocok diterapkan di Indonesia. Fenomena-fenomena ini justru banyak berkembang di kalangan Intelektualitas perguruan tinggi. Hilangnya semangat Nasionalisme, juga semangat menghormati hak-hak kemanusiaan yang mulai luntur. Kita terima saja pendapat menarik dari Thomas Friedman (Friedman, 2006) tentang pembagian 3 tahap globalisasi sebagai berikut (6):

Globalisasi pertama, sebagaimana dikemukakannya, berawal dari tahun 1492 (takala Columbus berlayar ke benua Amerika dan meyakinkan bahwa dunia adalah bulat) sampai tahun 1800. Globalisasi pertama ini adalah tentang kekuatan otot (muscle), wind power, horse power, dan steam power sebagai the key agent of change dan the power of integration.

Globalisasi kedua dari tahun 1800 sampai tahun 2000, di masa mana multinational corporations sebagai the key agent of change, dengan difusi telegram, telepon, PC, satelit, fiber-optic cable, World-Wide-Web yang membuat dunia menjadi flat (tidak lagi round).

Globalisasi ketiga yang diawali milenium baru tahun 2000 ke atas, bukan saja tentang bagaimana dunia telah shrinking, tetapi juga telah flattening serta bagaimana globalisasi ini telah empowering individuals dan businesses. Globalisasi ketiga ini berbeda dengan globalisasi pertama dan kedua yang penggeraknya adalah individuals dan businesses Amerika dan Eropa. Namun globalisasi ketiga digerakkan pula oleh individuals dan businesses yang non-Western dan non-White. (artinya bangsa Asia), dan disinilah karakter bangsa diuji kepatuhan dan kedisiplinannya.

KESIMPULAN dan RINGKASAN (6,7,8):
  1. Sangat penting memasukkan Pendidikan karakter dan dapat disisipkan atau diintegrasikan ke dalam setiap mata kuliah, khususnya bagi para mahasiswa. Namun demikian, berdasarkan pengalaman, kalau hanya sisipan, tidak ada kewajiban maka akan menjadi sangatlah rentan dan lamban, bahkan menjadi kegagalan untuk mewujudkannya. Oleh karena itu perlu kebijakan sebagai gerakan nasional untuk mewajibkan para dosen mengimplementasikannya dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), khususnya Kelompok matakuliah pengembangan kepribadian (MPK).
  2. Terkait dengan pendidikan karakter bangsa ataupun pendidikan “budi pekerti” tersebut butir (1) sangatlah berbeda untuk mendidik siswa dibandingkan dengan mahasiswa. Apalagi untuk pendidikan dasar khususnya SD dan untuk PAUD, maka secara khusus justru perlu panduan yang dibuat oleh tim Ahli pendidikan, atau ikut campurnya pemerintah dalam mengatur hal tersebut sebagai mata ajaran tersendiri dalam kurikulum pendidikan dasar. Jangan hanya dirumuskan dalam kalimat “terintegrasi dalam kurikulum”. Dengan adanya dasar-dasar nilai yang jelas dan tertanamkan sejak dini, insyaAllah ke depan akan memperkuat dan mempercepat pembentukan insan kamil di negeri Indonesia. Apalagi di era global sudah ada pendidikan “kepribadian” ala Barat masuk negeri kita.
  3. “FORUM PEMULIHAN JATIDIRI BANGSA” atau “PELESTARIAN KARAKTER BANGSA” dapat diselenggarakan melalui pendidikan dan pengajaran di lingkungan institusi pendidikan Indonesia disemua strata agar dapat diperoleh manfaat mengembalikan martabat bangsa.

RUJUKAN PUSTAKA
  1. Gunawan Sumodiningrat, Strategi Umum Pembangunan Karakter Bangsa, Konferensi Guru Besar II di Surabaya 04 Maret 2009, di: BUKU-KGB-2, AUP, 2011
  2. Budi Susilo Soepandji, Strategi umum pembangunan sdm berkualitas dalam penegakan kepribadian, penegasan kemandirian bangsa menjalin sinergi kebangkitan bangsa melalui kristalisasi partai politik,Keynote adress, KGB-II, Surabaya, 2010
  3. Bungaran Saragih,
  4. Swasono, Sri-Edi, "Menari Atas Kendang Orang Lain", Sinar Harapan, 23 September 1994.
  5. Swasono, Sri-Edi, et al (eds.), Sekitar Kemiskinan dan Keadilan (Jakarta: Ul-Press, 1987).
  6. – ibid -: Kelengahan Kultural dalam Pemikiran Ekonomi ... KGB-III, Manado, Januarin 2011
  7. Diskusi Kelompok, Konferensi Gurubesar ke-III, Manado, 2011
  8. AKI PBB Sabar , Masukan, Kopertis VII Jatim, --- ibid ----
  9. Puruhito, Jatidiri dan Karakter Bangsa, sambutan pada pengarahan Forum Jatidiri Bangsa, 2008
Untuk melihat versi asli dari bahasan di atas, silakan klik di sini.

Itulah tadi posting singkat tentang Contoh Makalah Pendidikan Karakter. Semoga bermanfaat n jangan lupa sobat,,,,, klo ada waktu mampir lagi di blog Kumpulan Contoh Makalah Mahasiswa ini ya + jangan lupa tombol like n share-nya Sob! Terima kasih.